Halaman

Minggu, 30 Januari 2011

Qum 492 tgl 19 Rajab 1431 H/ 2 Juli 2010 M

MANA YANG LEBIH BID’AH




Pertanyaan:


“Mana yang ahli bid’ah apakah orang yang mengatakan bahwa puasa Rajab tidak ada dasarnya/hadisnya dho’if atau yang mengamalkannya padahal tidak ada contohnya dari Nabi”? (SMS 02191220016)


Jawaban:


Orang yang berpuasa di bulan Rajab telah melaksanakan Sunnah Rasulullah SAW karena menurut asalnya berpuasa pada bulan apa saja disyari’atkan kecuali pada hari-hari yang dilarang sebagaimana kami jelaskan sebelum ini.


Adapun tentang puasa di bulan Rajab terdapat sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:


حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا عُثْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ حَكِيمٍ - قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صِيَامِ رَجَبَ فَقَالَ أَخْبَرَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ

(رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ. (اخرجه ابو داود


Artinya: Utsman Ibnu Abi Hakim berkata: Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa bulan Rajab. Maka Sa’id bin Jubair menjawab: Ibnu Abbas menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW itu pernah berpuasa terus menerus hingga kami mengira beliau tidak akan berbuka (tidak puasa) pernah juga beliau tidak puasa hingga kami menduga beliau tidak akan puasa. (HR Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al Albani. Lihat kitabnya Shahih Sunan Abi Dawud Juz 2 halaman 76).


Berkenaan dengan Hadis ini tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:


الظَّاهِر أَنَّ مُرَاد سَعِيد بْن جُبَيْر بِهَذَا الِاسْتِدْلَال أَنَّهُ لَا نَهْي عَنْهُ وَلَا نَدْب فِيهِ لِعَيْنِهِ بَلْ لَهُ حُكْم بَاقِي الشُّهُور ، وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْي وَلَا نَدْب وَلَا نَهْي لِعَيْنِه، وَلَكِنَّ أَصْل الصَّوْم مَنْدُوب إِلَيْهِ . وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم وَرَجَب أَحَدهَا وَاللَّهُ أَعْلَم.


Artinya: Yang nampak dari Hadis tersebut bahwa tujuan Sa’id bin Jubair mengucapkan kata-kata tersebut adalah bahwa tidak ada larangan berpuasa bulan Rajab dan tidak ada pula perintah mengerjakannya, akan tetapi hukumnya adalah sama seperti berpuasa di bulan-bulan lainnya. Dan tidak ada keterangan yang kuat berkenaan dengan perintah atau larangan puasa Rajab ini, tetapi pada dasarnya puasa itu disunnahkan. Dalam Sunan Abi Dawud dikemukakan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan puasa pada bulan-bulan Haram sedangkan bulan Rajab itu merupakan salah satunya. Wallahu A’lam.(Lihat ‘Aun Al Ma’bud juz 7 halaman 67. Lihat pula Ittihaf As Sadat Al Muttaqin karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Muhammad Al Husaini Az Zabidi pada Juz 4 halaman 427). Bahkan menurut analisa kami pernyataan sahabat Nabi SAW yang bernama Sa’id bin Jubair ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW biasa puasa di bulan Rajab sebagaimana pada bulan-bulan lainnya.


Dan yang bid’ah adalah orang yang melarang berpuasa di bulan Rajab karena orang tersebut telah membuat syari’at baru berupa larangan terhadap yang tidak dilarang oleh Agama. Sedangkan orang yang mengatakan bahwa puasa bulan Rajab tidak ada contohnya dari Nabi SAW adalah orang sesat dan menyesatkan.


Dengan demikian orang yang berpuasa bulan Rajab itu adalah Ahlus Sunnah dan yang melarangnya adalah Ahli Bid’ah. Wallahu A’lam.

Syarif Rahmat RA



MENGKRITISI ULAMA


Pernyataan:


Saudara Syarif Rahmat RA, anda masih bodoh terhadap ilmu jangan sok2an mengkritisi Ulama besar Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dan kami sangat faham salah satu ciri dari ahli bid’ah adalah mencela dan merendahkan Ulama, anda ga ngaca siapakah anda?. Semoga Allah mengampuni kejahilan dan kebobrokan tulisan anda di Qum no. 489-4/6/10 (081808515798).


Tanggapan:


Pertama, Pernyatan anda bahwa kami bodoh adalah benar sekali karena kami memang hanya pengikut dari Ulama yang telah disepakati kredibilitasnya oleh dunia Islam seperti Al Imam Asy Syafi’i, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqallani, Al Imam An Nawawi, Al Imam As Suyuthi dan lainnya. Dengan ini kami mengucapkan “Salama” kepada anda sesuai tuntunan Allah dalam Al Qur’an (Al Furqan:63).


Kedua, sesungguhnya apa yang kami lakukan hanyalah menunaikan amanah ilmiyah menyangkut hal-hal yang sebenarnya. Kaum Muslimin harus diberitahu bahwa ada pendapat yang berbeda dari pendapat yang dianut oleh kaum Wahhabi – kaum anda – yang dipegangi oleh mayoritas Ulama. Ini harus disampaikan mengingat memang itulah yang selama ini menjadi pegangan kaum Muslimin Indonesia bahkan di seluruh dunia agar mereka tidak ragu-ragu dengan apa yang telah diyakininya. Tentu saja sasarannya bukanlah kaum Wahhabi, toh mereka tidak akan pernah mau mendengarkan Ulama di luar madzhabnya. Bahwa ada di antara tulisan itu yang sampai kepada kaum Wahhabi, kami berharap mudah-mudahan Allah membuka hati mereka agar jangan terus menerus menebarkan permusuhan ke tengah Ummat Islam. Silahkan kaum Wahhabi dengan ajarannya dan biarkan kaum Muslimin dengan keyakinannya.


Ketiga, salah satu semboyan anda adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan haram taklid. (Kami hargai seruan anda itu walaupun – setahu kami – anda dan kelompok anda pun dalam berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah itu terbatas pada versi Ulama Wahhabi dan yang sejalan dengannya serta tidak berijtihad sendiri). Tetapi ketika kami dalam Qum 489 mencantumkan ayat dan Hadis sebagai pembanding bagi pemikiran-pemikiran yang ada, anda malah menuduh kami mengkritisi Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini sebuah keanehan karena kami tidak tahu apakah yang anda dan kelompok anda maksudkan dengan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu benar-benar merujuk kepada keduanya atau “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut versi Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab”. Jika yang pertama, kami telah mencoba melakukannya. Tetapi jika yang kedua, itu bahkan taklid buta namanya, sebuah istilah yang kami yakin anda dan kelompok anda alergi mendengarnya.


Keempat, kami pun yakin anda adalah seorang Alim melalui ucapan anda “Dan kami sangat faham salah satu ciri dari ahli bid’ah adalah mencela dan merendahkan Ulama”. Namun maaf, ucapan tersebut setahu kami bukan hasil ijtihad anda melainkan ucapan salah seorang Ulama Wahhabi dari Timur Tengah. Meski demikian kami setuju dengan anda dan untuk contohnya kami cantumkan ucapan Syekh Utsaimin ketika menanggapi Syekh Albani yang menfatwakan tidak bolehnya mengumandangkan Adzan Jum’at dua kali:


ثُمَّ يَأْتِيْ رَجُلٌ فِيْ هَذَاالْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ الْعِلْمِ وَيَقُوْلُ اَذاَن ُالْجُمْعَةِ الْاَوَّلُ بِدْعَةٌ لِاَنَّهُ لَيْسَ مَعْرُوْفًا عَلَى عَهْدِ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَيَجِبُ اَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْاَذَانِ الثَّانِيْ فَقَطْ. فَنَقُوْلُ لَهُ اِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ رضي الله عنه سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ اِذَا لَمْ تُخَالِفْ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يَقُمْ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ الَّذِيْنَ هُمْ اَعْلَمُ مِنْكَ وَاَغْيَرُ عَلَى دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِهِ وَهُوَ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ الَّذِيْنَ اَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِاتِّبَاعِهِمْ. ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ رضي الله عنه اعْتَمَدَ عَلَى أَصْلٍ، وَهُوَ أَنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، وَلَكِنْ لِيَرْجِعَ الْقَائِمَ وَيُوْقِظَ النَّائِمَ، كَمَا قَالَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَ عُثْمَانُ بِالْأَذَانِ الْأَوَّلِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ، لَا لِحُضُوْرِ الْإِمَامِ، وَلَكِنْ لِحُضُوْرِ النَّاسِ، لِأَنَّ الْمَدِيْنَةَ كبُرَتْ وَاتَّسَعَتْ وَاحْتَاجَ النَّاسُ أَنْ يَعْلَمُوْا بِقُرْبِ الْجُمْعَةِ قَبْلَ حُضُوْرِ الْإِمَامِ، مِنْ أَجْلِ اَنْ يَكُوْنَ حُضُوْرُهُمْ قَبْلَ حُضُوْرِ الْإِمَامِ.


Artinya: Kemudian datanglah seorang laki-laki di zaman ini yang tidak memiliki sedikit pun ilmu pengetahuan dan mengatakan bahwa adzan Jum’at yang pertama itu bid’ah karena tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW dan kita wajib membatasi hanya dengn adzan yang kedua saja. Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya Sunnah Utsman RA itu sunnah yang patut diikuti jika tidak menyalahi Sunnah rasulullah SAW dan tidak ada seorang sahabat pun – yang lebih tahu dan lebih cemburu dari kamu dalam berpegang kepada Agama Allah – yang menentangnya. Dan Utsman itu adalah salah seorang Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk yang kita diperintah untuk mengikuti mereka. Kemudian sesungguhnya Utsman itu berpegang kepada satu dasar pokok yaitu bahwa Bilal itu mengumandangkan Adzan pada waktu malam sebelum datangnya fajar(subuh) pada masa Nabi SAW bukan untuk shalat subuh melainkan untuk mengembalikan orang yang qiyamullail dan membangunkan orang yang tidur sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. Maka adapun Utsman memerintahkan agar dikumandangkan Adzan awwal pada hari Jum’at bukan untuk mendatangkan Imam melainkan mendatangkan masyarakat karena saat itu kota Madinah telah melebar dan meluas sehingga orang-orang perlu mengetahui bahwa saat Jum’at telah dekat sebelum datangnya imam agar supaya mereka lebih dahulu datang sebelum Imam. (Lihat dalam Majmu Fatawa Wa Rasa’il Syekh Utsaimin pada bagian Syarh Aqidah Thahawiyah Juz 8 halaman 638-639).


Nah apakah orang yang mengucapkan kalimat tersebut anda akan katakan ahli bid’ah karena mencela Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani?. Jika ya, saatnya anda melakukan protes kepadanya atau kepada para pengikutnya karena membiarkan kitab Fatwa tersebut terus diterbitkan dan diedarkan.

Wallahu A’lam

Jumat, 18 Juni 2010

Qum 491 tgl 5 Rajab 1431 H/ 18 Juni 2010 M


ARTIS DAN SAPI


Hanya dalam empat hari sejak kejadian, masyarakat Bali telah dapat menuntaskan kasus asusila yang terjadi di daerahnya. Ceritanya seorang laki-laki bernama I Gusti Ngurah AI kedapatan menyetubuhi seekor sapi yang tengah hamil 3 bulan. Akibat perbuatannya itu Ngurah harus menerima imbalan yang setimpal, dikawinkan dengan sapi “selingkuhannya” itu. Tak ubahnya sepasang mempelai, selain dirias kedua pasangan lain “alam” itu diarak menuju “pelaminan” – yang tak lain dari kandang sapi – sebelum selanjutnya dilakukan “ijab kabul” secara paksa. Meskipun akhir cerita nampak kurang adil di mana Sapi betina itu dilarung (dibuang) ke lautan hingga menemui ajalnya, sementara si Ngurah pulang “kandang” (baca:rumah), tetapi setidaknya para pemuka adat Bali telah melakukan upaya penegakan hukum dengan sungguh-sungguh padahal perbuatan mereka nyaris tidak ada yang mengetahui selain seorang rekannya Gusti Ngurah Dinar.


Lain lagi ceritanya ketika para penegak hukum di negeri ini menghadapi Artis dan apa yang disebut orang sebagai pesohor. Tiga orang manusia yang kedapatan melakukan perbuatan mesum hingga kini belum ditetapkan hukumnya meski para pakar telematika telah menetapkan bahwa adegan mesum dalam bentuk video itu di atas 90 prosen benar, asli dan bukan rekayasa. Anehnya lagi, orang-orang yang diberi wewenang oleh rakyat bahkan lebih berkonsentrasi kepada pencarian siapa penyebar video tersebut di internet. Rupanya Hukum di negeri ini hanya berlaku kepada makhluk sejenis sapi dan tumpul ketika berhadapan dengan manusia. Tetapi sesungguhnya – dengan langkahnya itu – terkesan ada semacam pernyataan dari para petugas bahwa berzina itu “tidak apa-apa”, tetapi kalau mengedarkannya ada sanksinya. Inna Lillahi W’inna ilaihi Raji’un


Syarif Rahmat RA


HADIS KULLUKUM RA’IN


Pertanyaan: “As. Ustadz, maaf hadis yang bunyinya kullukum roo’in wakullu ra’iyatin mas’uulun ‘an ro’iyyatihi riwayat siapa? wassalam” (021929415xx).


Jawaban: Wa’alaikumus salam Wr.Wb. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghirnya bersumber dari Ibnu Umar RA. Selengkapnya Hadis itu


عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ دِيْنَارٍ سَمِعْتُ بءنَ عُمَرَ يَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيْرُ رَاعٍ عَلَى رَعِيَّتِهِ وَهُوَ مَسْؤُْلٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُْلٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُْلٌ عَنْهُ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُْوَلٌة عَنْهُ.


Artinya: “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diminta pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang Amir adalah pemimpin bagi rakyatnya dan dia akan diminta pertanggung-jawaban mengenai rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban mengenai keluarganya itu. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban mengenai harta itu dan seorang isteri adalah pemimpin bagi harta suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawaban mengenai hartanya itu”.


KITA DAN BANI ISRAEL


Assalamu'alaikum,Wr.Wb.


Semoga Ustadz & keluarga senantiasa dalam keadaan baik dan sehat....! Amin


Ada yang mau saya tanyakan tentang hadist. Saya tuliskan penggalannya (mohon maaf dengan huruf LATIN). (LATATABI'ANNA MILLATAHUM DZIRA'AN FADZIRA'AN...... ) saya ingin tahu lanjutannya haditsnya secara lengkap (berikut perawinya)


Terkait dengan hadits di atas, saya tertarik dengan sebuah pengajian yang menjelaskan tafsir surat al-Baqarah ayat 83, tentang perjanjian Allah terhadap Bani Israil.


Pertanyaan saya:


Apakah pengingkaran yang dilakukan Bani Israil terhadap perjanjian tersebut, juga bisa terjadi pada kaum muslimin? Apa hikmah yang dapat kita petik "Allah menguraikan tentang kelakukan Bani Israil" tersebut


Terimakasih atas perhatian & Jawaban Ustadz sangat saya nantikan ().


Jawaban: Wa’alaikumus Salam Wr.Wb. Kesehatan dan kesejahteraan kiranya juga dilimpahkan Allah kepada saudaraku Isur dan keluarga. Dan kiranya Allah mempersatukan kita dalam kebenaran dan memberikan manfaat kepada sesama, Amin. Adapun Hadis yang anda tanyakan selengkapnya adalah:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ - رضى الله عنه - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ » . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ ». رواه البخاري ومسلم


Artinya: “Kamu benar-benar akan mengikuti kebiasaan kebiasaan generasi sebelum kamu setapak demi setapak dan sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka menapaki lobang biawak niscaya kamu pun akan menapakinya pula”. Kami bertanya lagi: “Adakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?”. Rasulullah SAW bersabda: “Ya siapa lagi (kalau bukan mereka)” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Dalam riwayat lain disebutkan:


لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمْ وَحَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ جَامَعَ امْرَأَتَهُ بِالطَّرِيْقِ لَفَعَلَتْمُوُهْ.ُ (اخرجه الحاكم)


Artinya: “Sungguh kalian akan menempuah jalan orang-orang sebelum kamu setapak demi setapak, sejengkal demi sejengkal, sehingga jika ada di antara mereka yang memasuki lobang biawak maka kamu pun akan memasukinya. Pun jika ada di antara mereka yang menyetubuhi isterinya di jalanan niscaya kamu pun akan melakukannya pula” (HR Al Hakim).


Kedua Hadis ini mengisyaratkan bahwa banyak kaum Muslimin yang akan mengikuti kelakuan Yahudi dan Nasrani baik yang dahulu maupun yang baru. Sedemikian parahnya hingga manakala satu saat (itu diucapkan dulu) ada di antara Yahudi dan Nasrani yang berjima’ di jalanan, maka ummat Muhammad SAW pun akan ada yang melakukannya. Na’udzu Billah.


Pada dasarnya semua yang diceritakan tentang Bani Israel dalam Al Qur’an akan merupakan pelajaran bagi Ummat Muhammad SAW. Dan itu sekaligus mengisyaratkan bahwa peristiwa-peristiwa itu akan terjadi di tengah ummat ini. Di balik diangkatnya cerita Bani Israel itu adalah agar kita mudah mengambil pelajaran dengan cara membayangkan akibat kelakuan kita karena sesungguhnya balasan atau hukuman akan berulang mengikuti pengulangan perbuatan manusia. Mohon maaf dan terimakasih. Wallahu A’lam


PUASA DI BULAN RAJAB


Pertanyaan: Ass.Wr.Wb Pak. Kyai yang terhormat, saya mohon pencerahan dan penjelasan berkaitan dengan puasa sunnah di bulan rajab. Yang ingin kami tanyakan apakah diperkenankan puasa di bulan rajab? apakah haram atau sunnah? dan apa hukum atau dalilnya? Hormat kami Ratno dan Budi wiwiko.(




Sabtu, 12 Juni 2010

Qum 490 tgl 28 Jumadil Tsani 1431 H/ 11 Juni 2010 M


BID’AH DAN KHILAFIYAH


عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ - وَهَذَا حَدِيثُ أَبِى بَكْرٍ - قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلاَةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلاَةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ. فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ. فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ ». (رواه مسلم وابو داود والترمذي)


Artinya: Orang pertama yang mendahulukna khutbah sebelum Shalat pada hari Raya adalah Marwan (bin Hakam, red). Ketika itu berdirilah seorang laki-laki lalu berkata: “Shalat dulu sebelum khutbah”. Marwan berkata: “Itu telah ditinggalkan”. Maka Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Orang ini telah melaksanakan apa yang pernah aku dengar Rasulullah SAW mengatakannya: “Barangsiapa melihat kemunkaran hendaklah merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah ia merubahnya dengan lisannya dan jika tidak mampu hendaklah merubahnya dengan hatinya dan itu merupakan selemah-lemah iman” (HR Muslim, Abu Dawud dan At Tirmidzi)


أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ : صَلَّى مُعَاوِيَةُ بِالْمَدِينَةِ صَلاَةً فَجَهَرَ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) لأُمِّ الْقُرْآنِ ، وَلَمْ يَقْرَأْ بِهَا لِلسُّورَةِ الَّتِى بَعْدَهَا حَتَّى قَضَى تِلْكَ الْقِرَاءَةَ ، وَلَمْ يُكَبِّرْ حِينَ يَهْوِى حَتَّى قَضَى تِلْكَ الصَّلاَةَ ، فَلَمَّا سَلَّمَ نَادَاهُ مَنْ شَهِدَ ذَلِكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ : يَا مُعَاوِيَةُ أَسَرَقْتَ الصَّلاَةَ أَمْ نَسِيتَ؟ فَلَمَّا صَلَّى بَعْدَ ذَلِكَ قَرَأَ ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) لِلسُّورَةِ الَّتِى بَعْدَ أُمِّ الْقُرْآنِ وَكَبَّرَ حِينَ يَهْوِى سَاجِدًا. (رواه الحاكم والبيهقي والدار قطني)


Artinya: Anas bin Malik berkata: Suatu kali Mu’awiyah menunaikan Shalat dengan menjaharkan bacaan. Ia membaca Bismillahirrahmanirrahim untuk Al Fatihah tetapi tidak membacanya untuk surat sesudahnya hingga selesai bacaan itu dan tidak bertakbir ketika turun (menuju sujud, pen) hingga usai shalat. Ketika salam orang-orang dari kalangan Muhajirin yang menyaksikannya menegurnya dari berbagai arah:“Hai Mu’awiyah, anda ini mencuri Shalat ataukah lupa?”. Semenjak saat itu Mu’awiyah selalu membaca Basmalah untuk surat setelah Al Fatihah dan bertakbir ketika turun hendak sujud. (HR Al Hakim, Al Baihaqi dan Ad Daruquthni).


Di mata para sahabat Rasulullah SAW, kedua masalah di atas bukanlah masalah ijtihadiyah yang harus disikapi dengan saling menghargai dan menghormati. Mengerjakan Shalat sebelum Khutbah adalah urutan yang telah baku dan tidak pernah berubah semenjak masa Rasulullah SAW hingga para Khalifahnya. Oleh karena itu ketika Marwan bin Al Hakam salah seorang tokoh Bani Umayyah menukarnya dengan mendahulukan khutbah, para sahabat pun serempak menegurnya karena jelas hal tersebut merupakan bid’ah.


Demikian pula – sepengetahuan para sahabat Nabi SAW – membaca Basmalah ketika Shalat itu selalu dilakukan Rasulullah SAW baik bersama Al Fatihah maupun setelah Al Fatihah sebelum sebagaimana juga takbir menjelang sujud. Oleh karena itu ketika mereka menyaksikan Mu’awiyah yang juga tokoh Bani Umayyah tidak membacanya, mereka ramai-ramai memprotesnya karena menghilangkan Basmalah setelah Al Fatihah dan meninggalkan takbir ketika hendak ruku’ adalah perkara bid’ah. Lain halnya dalam masalah-masalah Khilafiyah, mereka lapang dada, saling menghargai pendapat dan tetap berjalan pada ijtihadnya sendiri-sendiri. Tetapi seiring kemajuan manusia dalam bidang kebodohan dan semakin merajalelanya sifat angkuh, sikap manusia berubah. Mereka yang baru mengenal ajaran Agama pada sebagian kecilnya – atau hanya mengenal Agama dari alirannya saja – dengan serta merta melontarkan kata bid’ah, sesat dan menyesatkan kepada kaum Muslimin lainnya. Tak banyak di antara mereka yang memahami keadaan ini padahal tidak sedikit di antara anak-anaknya yang terjerumus ke jurang berbahaya berupa perasaan benar sendiri. Hasbunallah


H. Syarif Rahmat RA



OBAT GUNDAH


Pertanyaan: “Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb. pak Kyai saya mo nanya. Bagaimana cara mengobati hati yang sedang gundah? Adakah Dzikirannya agar selalu ingat kepada Allah?. Terimakasih atas jawaban yang diberikan”. (021997769xx)

Jawaban: Gundah gulana atau kesedihan atau dalam bahasa Arabnya Al Huzn adalah perasaan duka dalam hati akibat datangnya sesuatu yang tidak diharapkan atau tidak tercapainya sesuatu yang dihajatkan. Keadaan seperti ini biasa terjadi termasuk kepada para Nabi. Rasulullah SAW sendiri pernah mengalami di antaranya pada waktu wafatnya putera beliau Ibrahim.


Untuk menghilangkan gundah gulana ada beberapa yang kiat yang patut dilakukan antara lain:


Pertama, tanamkan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan kehendak Allah yang bernilai ibadah dan berpahala bila orang rela menerimanya dengan lapang dada. Ingatkan hati kita bahwa mengeluhkan kebijakan Allah itu merupakan sikap yang tercela di hadapan Allah.


Kedua, sibukkan diri kita dengan pekerjaan bermanfaat yang dapat mengalihkan perhatian kita kepada masalah yang membebani hati.


Ketiga, lakukanlah shalat sunnat karena Rasulullah SAW bila dihadapkan pada hal-hal seperti itu segera melakukan Shalat. Disebutkan dalam sebuah Hadis:


عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى. (رواه ابو داود)


Artinya: “Rasulullah itu bila dirundung sesuatu segera menunaikan Shalat” (HR Abu Dawud).


Adapun di antara dzikir yang baik dibaca ketika dirundung duka adalah do’a Nabi Yunus AS:


لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ (الانبياء:87)


Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk ke dalam golongan orang-orang Zhalim” (Al Anbiya:87)


Atau sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW yaitu dengan memperbanyak bacaan berikut:


لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْحَلِيمُ الْعَظِيمُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ


Artinya: Tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Penyantun lagi Maha Agung. Tidak ada Tuhan selain Allah Tuhan Arasy yang mulia. Tidak ada Tuhan selain Allah Tuhan Arasy yang agung. Tidak ada Tuhan selain Allah Tuhan seluruh langit dan Tuhan bumi, Tuhan Arasy yang mulia” (HR Ahmad dan Muslim).


Atau dengan memperbanyak membaca Hauqalah. Dalam sebuah Hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:


مَنْ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِ بنِعْمَةً فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنِ اسْتَبْطَأَ الرِّزْقَ فَلْيَسْتَغْفِرِ اللهَ وَمَنْ حَزَبَهُ أَمْرٌ فَلْيَقُلْ : لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ (رواه البيهقي في شعب الايمان)


Artinya: “Barangsiapa yang diberi kenikmatan oleh Allah hendaklah memuji Allah, siapa yang dibuat lamban rizkinya hendaklah memohon ampun kepada Allah dan siapa yang dirundung sesuatu hendaklah ia membaca La haula Wala Quwwata Illa Billah” (HR Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)


Masih banyak bentuk-bentuk bacaan yang lain namun ini saja mudah-mudahan mencukupi bila kita melakukannya secara istiqamah.


Agar kita dapat banyak mengingat Allah, memohonlah kepada-Nya kiranya Dia membukakan hati kita kecenderungan melakukannya dengan cara berdo’a sebagaimana dipesankan Rasulullah SAW:


عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ « يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ».رواه احمد وابو داود والنسائي


Artinya: Mu’adz bin Jabal Menceritakan bahwa Rasulullah SAW memegang tangannya lalu bersabda: “Wahai Mu’adz, demi Allah sungguh aku mencintaimu, sungguh demi Allah aku mencintaimu. Aku berpesan kepadamu agar engkau jangan meninggalkan bacaan berikut setelah shalatmu: “Allahumma A’inni ....” (Ya Allah, tolonglah aku agar dapat selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan melakukan sebaik-baik penghambaan kepada-Mu” (HR Ahmad, Abu Dawud dan An Nasa’i).


Demikian saudaraku, semoga kita semua diberi kemampuan untuk melaksanakannya dan Allah menerima segala pengabdian kita serta menempatkan kita bersama hamba-hamba-Nya yang mulia, Amin.


NAMA QUM


Pertanyaan: Assalamu ‘Alaikum. ‘Afwan, akh, ane sekedar pembaca Bulletin Qum. Sekedar pengen tahu, nama “QUM” diambil dari mana ya?. Atau maknanya apa? Jazakallah. (0857477276xx)


Jawaban: Wa’alaikumus salam Wr.Wb. Kata “QUM” berarti “bangkitlah” diambil dari firman Allah:


يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ .قُمْ فَأَنْذِرْ (المدثر:1-2)


Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan”. (Al Muddatstsir:1-2).


Terjemahan ayat tersebut telah kami cantumkan pada bagian bawah halaman pertama bulletin kita ini. Demikian saudaraku, semoga maklum adanya. Wa’iyyaka Jazakallah. Terimakasih.

Senin, 07 Juni 2010

Qum 489 tgl 21 Jumadil Tsani 1431 H/ 4 Juni 2010 M


UPAYA MEMAHAMI PENDAPAT

ORANG LAIN


Salah satu perbedaan pendapat yang terjadi di tengah kaum Muslimin adalah tata cara mereka menyelamatkan Akidah dari kesesatan. Mereka sepakat berkeyakinan bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ketika terdapat dalil-dalil yang mengesankan adanya keserupaan Allah dengan makhluk, mereka berusaha keras menghindarkan kesan tersebut. Hanya saja – karena tujuan mulia itu – justru mereka kemudian berbeda pendapat. Sepeninggal Ulama Salaf yang memilih berdiam diri tidak memberikan komentar terhadap ayat-ayat mutsyabihat, mayoritas Ulama memilih jalan ta’wil karena dianggap paling mudah diterima orang-orang awwam dan paling aman untuk menutup pintu polemik yang justru akan memperpanjang persoalan. Tetapi belakangan cara seperti ini ditentang oleh Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya seperti Muhammad bin Abdul Wahhab yang dikenal dengan aliran Wahhabi karena memang sejak masanya-lah aliran ini dikembangkan dengan bantuan kerajaan keluarga Sa’ud, tepatnya mulai sekitar abad XIX Masehi.


Sebagai sebuah upaya atau “Ijtihad Baru” dari seorang Ibnu Taimiyah Rahimahullah, prinsip Anti Ta’wil tentu saja tidak ada masalah karena memang merupakan haknya untuk melakukan istimbath dari sumber aslinya, Al Qur’an dan As Sunnah, terlepas pada kenyataannya pendapatnya itu ditolak oleh mayoritas Ulama Hatta oleh para Ulama Madzhab Hanbali, madzhabnya Ibnu Taimiyah. Akan tetapi lain halnya para Muqallidnya, mereka tidak punya hak untuk menunjukkan telunjuk dengan teriakan kata bid’ah dan sesat kepada yang berbeda dengannya. Sebabnya jelas, bahwa perkara-perkara Furu’iyah – baik itu Furu’ Al Aqidah maupun Furu’ dalam masalah Fiqh – memiliki hak yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Hak itu adalah: Saling menghargai. Untuk itulah, sekedar untuk mengingatkan sebagian pengikut aliran Anti Ta’wil agar kembali hidup dalam kedamaian dan tidak merasa benar sendiri, berikut kami sampaikan sebagian argumen dari kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang secara umum menerima Ta’wil. Bahwa setelah ini masih saja ada yang kaku urat lehernya, memang Allah memiliki hak yang tak dapat diganggu dalam memberikan hidayah kepada hamba-hamba-Nya.


Selain mengikuti sebagian jejak Ulama Salaf, sesungguhnya Ta’wil itu memiliki juga dasar pijakan yang dijadikan Qiyas baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadis. Sebagaimana diketahui Al Qur’an adalah merupakan firman Allah. Akan tetapi dalam Al Qur’an dikatakan:


إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة:40 التكوير:19)


Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah ucapan Rasul yang mulia (Jibril)” (Al Haqqah:40, At Takwir:19)


Apakah karena ayat ini kita akan mengatakan bahwa Al Qur’an itu merupakan wahyu Jibril atau campuran antara wahyu Allah dan wahyu Jibril ?. Barangsiapa berkeyakinan seperti itu menjadi Kafirlah ia berdasarkan kesepakatan Ulama. Itulah sebabnya para Ulama menterjemahkan ayat tersebut – sebagaimana dalam terjemahan Departemen Agama RI – dengan: Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)”. Ditambahkannya kalimat di antara dua tanda kurung pada terjemahan ini adalah Ta’wil karena memang tidak ada pada aslinya. Barang siapa membiarkan terjemahan ayat tersebut sesuai teks ayat aslinya niscaya akan terjatuh dalam kesesatan karena menganggap Al Qur’an bukan firman Allah tetapi ucapan Jibril.


Contoh lain adalah Hadis:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ » (رواه البخاري ومسلم)


Artinya: “Tuhan kita Tabaraka Wata’ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada saat sepertiga malam terakhir seraya berseru: “Siapa yang berdo’a kepada-Ku, akan Aku perkenankan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan dan siapa yang memohon kepada-Ku akan Aku ampuni” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Kaum Wahhabi memahami bahwa yang dimaksud dengan “turun” pada Hadis ini adalah bahwa Tuhan itu benar-benar turun. Artinya yang tadinya ada di Arasy seketika berada di langit terdekat dari bumi. Akan tetapi mayoritas Ulama memberikan kalimat pengganti dari kalimat di atas dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “turun” di situ adalah turunnya Malaikat Allah yang diutus untuk menyampaikan seruan, bukan Allah turun sendiri. Perhatikan penjelasan Ulama yang menjadi rujukan para pengkaji Hadis di seluruh dunia, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani Rahimahullah:


وَقَدْ حَكَى أَبُو بَكْر بْن فَوْرك أَنَّ بَعْض الْمَشَايِخ ضَبَطَهُ بِضَمِّ أَوَّله عَلَى حَذْف الْمَفْعُول أَيْ يُنْزِل مَلَكًا ، وَيُقَوِّيه مَا رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيق الْأَغَرّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَأَبِي سَعِيد بِلَفْظِ " إِنَّ اللَّه يُمْهِل حَتَّى يَمْضِي شَطْر اللَّيْل ، ثُمَّ يَأْمُر مُنَادِيًا يَقُول : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . وَفِي حَدِيث عُثْمَان بْن أَبِي الْعَاصِ " يُنَادِي مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . قَالَ الْقُرْطُبِيّ : وَبِهَذَا يَرْتَفِع الْإِشْكَال


Artinya: Al Imam Abu Bakar ibn Faurak menceritakan bahwa di antara para Syekh ada yang mendhomahkan kata “yanzilu” (artinya: Allah turun) menjadi “Yunzilu” (artinya: Allah menurunkan) dengan membuang Obyeknya yaitu bahwa Allah menurunkan seorang Malaikat (untuk berseru, pen). Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa’i melalui jalur Al Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dengan redaksi: “Sesungguhnya Allah membiarkan hingga berlalu separuh malam. Setelah itu lalu Dia memerintahkan seorang penyeru agar berseru: “Siapa orang yang berseru agar diperkenankan..?” (sampai akhir Hadis). Dan dalam Hadis Usman bin Abi Al Ash: “Seorang penyeru menyerukan: “Siapa orang yang berseru akan diperkenankan” (sampai akhir Hadis). Al Imam Al Qurtubi berkata: “Dengan cara seperti ini maka hilanglah kemusykilan memahami Hadis” (Lihat Fathul Bari Juz 3 halaman 339).


Model penta’wilan seperti ini sebenarnya telah dicontohkan oleh Allah SWT sendiri sebagaimana dalam sebuah Hadits Qudsi:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.(رواه مسلم)


Artinya: Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah akan berfirman: “Wahai anak Aam, Aku sakit namun kamu tidak mau menjenguk-Ku”. Anak Adam berkata: “Ya Tuhanku, bagimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa seorang hamba-Ku si Anu sakit namun engkau tidak menjenguknya. Padahal jika engkau menjenguknya, niscaya engkau dapati Aku di dekatnya. Wahai anak Adam, Aku meminta makan namun engkau tidak memberi-Ku makan”. Anak Adam bertanya: “Wahai Tuhanku, bagaimanakah aku memberi makan Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang meminta makan kepadamu namun engkau tidak memberinya makan. Padahal jika engkau memberinya makan, niscaya engkau dapati itu ada di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberi minum Aku”. Anak Adam berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat memberi minum kepada Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang dating meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberinya minum. Padahal jika engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapati itu ada di sisi-Ku” (HR Muslim).


Rupanya sampai hari kiamat masih saja ada anak Adam yang salah faham terhadap firman Tuhan hingga Tuhan sendiri harus menjelaskan maksud sebenarnya. bayangkan jika dalam Hadis Qudsi tersebut tidak dijelaskan panjang lebar niscaya akan ada aliran yang berkeyakinan bahwa Allah itu lapar, haus dan bahkan sakit sebagaimana makhluk-Nya. Na’udzu billah min dzalik !!!. Bagaimana pula dengan firman Allah yang menyebutkan:


اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...(ألنور:35)


yang terjemah aslinya “Allah adalah cahaya langit dan bumi...”. Apakah kita akan berkeyakinan bahwa Allah itu berupa cahaya?. tak seorang Ulama pun mengartikannya demikian. Oleh sebab itu mereka mengtatakan bahwa yang dituju dengan “cahaya” adalah “yang menerangi” sehingga ayat tersebut berarti “Allah adalah Dzat yang menerangi langit dan bumi”. Terjemahan ini dinamakan Ta’wil karena menyimpang dari kata aslinya.


Nah, dengan “pintu” yang telah dibuka oleh Allah inilah, rasanya sudah pada tempatnya bila para Ulama dan ummat Islam pada umumnya mempergunakan Ta’wil sebagai jalan pengajarannya karena diyakini sebagai cara paling aman untuk disampaikan – terutama untuk orang awwam – agar tidak terjatuh ke dalam salah asumsi tentang Tuhannya. Bahwa saudara-saudara kita penganut aliran Wahhabi yang menamakan dirinya Salafi tidak sependapat dan bersikukuh dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang muncul pada abad VIII H dan belakangan dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan bantuan kerajaan keluarga Sa’ud di Arab, itu bukan masalah. Masalah timbul setelah orang-orang yang berstatus Muqallid (ikut-ikutan) dengan ajarannya menisbatkan kata sesat kepada ummat Islam pada umumnya karena melakukan Ta’wil dan tidak mau tahu argumen kaum Muslimin itu. Semoga Allah menganugerahi kita kebijaksanaan, Amin. Hasbunallah.


H. Syarif Rahmat RA