Halaman

Senin, 31 Mei 2010

Qum No. 475 tgl 6 Shafar 1431 H/ 22 Januari 2010 M


IMAM ASY’ARI


اِذَا اُطْلِقَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِ لْاَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّّةُ


“Jika disebutkan kata Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka maksudnya adalah para pengikut Imam Asy’ari dan Imam Maturidi” (Al ‘Allamah As Sayyid Muhammad bin Muhammad Al Husaini Az Zabidi dalam Itthihaf As sadat Al Muttaqin Syarah Ihya Ulum Ad Din).


Pertanyaan: “Pak Kyai, Abul Hasan Al Asy’ari pernah menulis Kitab “Al Ibanah Fi Ushulid diyanah” apa benar?” (dari 0852282023xx tgl 16 Januari 2010)


Jawaban:


Pertama-tama perlu kami sampaikan bahwa para Ulama terdahulu – sejak abad ketiga hingga sebelum datangnya Ibnu Taimiyah – pada umumnya apabila disebut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka yang mereka tuju adalah para pengikut Al Imam Abul Hasan Al Asy’ari (Wafat tahun 324 H) dan Imam Abu Manshur Al Maturidi (Wafat tahun 333 H). Demikian pula hingga saat ini mayoritas Ulama menganggap bahwa para penganut Theologi Asy’ari inilah yang disebut Ahlsu Sunnah Wal Jama’ah. Sebut saja tokoh-tokoh Ahli Tafsir seperti Al Imam Al Qurtubi dan Al Imam Jalaluddin As Suyuthi atau seperti para penyusun kitab Hadis seperti Al Imam Al Baihaqi atau para Hafizh semisal Al Imam Ibnu Hajar Al Asqallani atau Ulama Fiqh seperti Al Imam An Nawawi atau ahli Tasawwuf seperti Al Ghazali dan Mujahid seperti Shalahuddin Al Ayyubi, mereka semua adalah penganut Madzhab Asy’ari. Namun semenjak kedatangan Ibnu Taimiyah (Wafat tahun 728 H) gelar Ahlus Sunnah dicoba “direbut” dan dinisbatkan kepadanya. Ini fakta sejarah yang tidak seorang pun mengingkarinya. Karena “pengambil alihan” inilah maka dipandang wajar apabila mayoritas Ulama menganggap bahwa Ibnu Taimiyah itu bukan Ahlus Sunnah karena ia menyimpang dari konsep Akidah Asy’ariyah yang merupakan anutan pada umumnya Ummat Islam. Pada masa berikutnya konsep Ibnu Taimiyah ini diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Wafat tahun 1206 H) yang telah kita bicarakan sekilas pada tulisan yang lalu. Sekali lagi kami tidak akan pernah melibatkan diri lebih jauh mana yang lebih berhak menggunakan label tersebut. Memang karena kepandaiannya, negara lain mengklaim sebagai pemilik hak paten tempe, padahal Bangsa Indonesia-lah yang pertama memproduksinya karena jauh sebelum bangsa mana pun membuat, bangsa Indonesia telah terlebih dahulu mengkonsumsinya.


Tentang masalah kitab “Al Ibanah”. Al Imam Al Asy’ari memang menulis banyak kitab seperti Maqalat Islamiyyin, Al Luma’ Fi Ar Radd ‘Ala Ahl Az Zaigh Wa Al Bida’, Ar Radd ‘Ala Al Mujassimah, Risalah Fi Al Iman, Imamat Ash Shiddiq, Maqalat Al Mulhidin, Al Asma Wa Al Ahkam dan lainnya – menurut Az Zarkali mencapai lebih kurang 300 judul kitab – salah satunya adalah kitab Al Ibanah, nama lengkapnya Al Ibanah ‘An Ushul Ad Diyanah. Namun mengenai kitab ini terdapat sekurang-kurangnya dua versi yang sedikit agak berbeda.


Adapun para penganut aliran Wahhabi ketika berbicara tentang Al Imam Al Asy’ari – sepengetahuan kami – memiliki target tersendiri berbeda dengan yang biasa dilakukan Ummat Islam pada umumnya. Berpijak kepada pemikiran Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, mereka mengecap Al Imam dan para pengikutnya sebagai penganut aliran sesat. Dan berkaitan dengan kitab Al Ibanah itu mereka pun mempergunakan naskah yang tidak sama dengan yang diakui outentisitasnya oleh kalangan Ummat Islam yang mengaku sebagai Asy’ariyah, tentu saja untuk menopang madzhabnya. Setelah itu mereka berkata: “Madzhab kamilah yang benar dan Asy’ariyah itu sesat menyesatkan”. Atau pada kesempatan lain “Imam Asy’ari telah telah melalui tiga tahap pemikiran dan pada akhirnya rujuk kepada Madzhab Salaf” (dan yang dimaksud Salaf dalam versi ini adalah memberikan pemaknaan terhadap segala ayat mutasyabihat dengan padanan katanya seperti yang dilakukan teman-teman Wahhabi, bukan Salaf Ulama generasi terdahulu yang cenderung membiarkan ayat tersebut apa adanya). Kami berharap mudah-mudahan anda tidak termasuk dalam kategori seperti ini. Terlepas mana di antara kedua naskah tersebut yang akurat, namun menurut kami, sikap paling adil bila ingin mengetahui suatu ajaran, adalah dengan merujuk kepada para murid atau pengikutnya. Hal ini agar tidak ada manipulasi atau kesalahan memahami. Adalah tidak bijaksana kita mengkaji kitab-kitab Asy’ari melalui teman-teman Wahhabi sebab sejak semula mereka adalah penentangnya. Sebagaimana juga bukan pada tempatnya kita mengaji kitab-kitab Wahhabi kepada orang-orang Asy’ariyah yang sejak semula tak pernah mengenalnya. Jadi, jika anda ingin mengetahui seperti apa kira kira konsep Teologi Asy’ari atau Asya’irah, bertanyalah kepada Ulama kaum Muslimin yang memiliki hubungan perguruan kepada Asy’ari, dan jika ingin terhindar dari kesalahan memahami kitab-kitab Imam Ahmad, bertanyalah kepada orang-orang yang kredibel dan memiliki jalur perguruan kepada Imam Ahmad. Memang sangat disesalkan sekarang banyak orang yang menggunakan nama Ulama tapi justru untuk menghinakan dan menyalah-nyalahkan para pengikut Ulama tersebut, seolah-olah para penghina itu lebih tahu tentang madzhab Ulama tadi. Seperti sebuah Yayasan di Bogor, menggunakan nama Ulama Fiqh anutan bangsa Indonesia tetapi isi kegiatan dan tulisan-tulisannya justru untuk menghakimi para Ulama di lingkungan Madzhab Ulama tadi. Anda – Insya Allah – mengetahui karena Yayasan tersebut pun didukung oleh sebuah Kerajaan di Timur Tengah.


Kisah tahrif kitab-kitab Ulama telah berlangsung cukup lama dilakukan orang-orang yang membenci atau iri kepada mereka. Para “pemalsu” itu seolah-olah “mewakili” para penulis kitab, padahal sejatinya ingin menghancurkan kredibilitasnya. Akibat dari kejahatan ilmiyah tersebut, tidak sedikit Ulama yang menjadi bahan gunjingan kaum Muslimin bahkan di antara mereka ada yang digelari sebagai Kafir Zindik, Na’udzu Billah. Hingga hari ini pun “kegiatan” seperti itu masih berlangsung baik di kalangan orang asing maupun orang Indonesia. Semoga anda tidak menuntut kami membuktikan pernyataan ini lebih jauh agar niat baik ini tidak berubah menjadi petaka di kemudian hari. Kami hanya menganjurkan: Bila membaca satu judul kitab, usahakanlah anda membacanya dari beberapa naskah atau penerbit. Setelah itu bertanyalah kepada para pengikutnya, niscaya anda akan menemukan informasi kebenaran.


Jadi kesimpulan kami, Al Imam Al Asy’ari yang merupakan Imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah itu memang menulis kitab Al Ibanah, tetapi bagaimana isi kitab tersebut, tanyakanlah kepada para pengikutnya. Bila setelah ini kita masih saja menilai Imam Asy’ari melalui orang-orang yang “anti” terhadap beliau Rahimahullah. Wallahu A’lam


Pernyataan: QUM ? Cape deeeh !!!!!!!! (0813822272xx Tgl 18 Januari 2010)


Tanggapan: Semoga keletihan anda menjadi ibadah di hadapan Allah, Amin. Barangkali keletihan anda itu akibat komentar kami terhadap pikiran atau (maaf) kelakuan madzhab yang anda anut, kami dengan rendah hati memohon maaf. Tetapi izinkanlah kami juga mengusulkan kepada anda dua hal.


Pertama, beritahukan kepada teman-teman anda dari kalangan Wahhabi agar menghentikan provokasi terhadap kaum Muslimin karena cepat atau lambat masyarakat akan kehilangan kesabarannya. Kami khawatir bila kata sesalan atau kekecewaan mereka suatu hari berubah menjadi tindakan yang tidak menggembirakan siapa pun. Sungguh mereka sudah cukup bersabar bertahun-tahun dihinakan amaliahnya, mereka disesatkan, dibid’ahkan bahkan dimusyrikkan. Tahukah anda bahwa apa yang mereka lakukan tak lebih dari sekedar mengikuti pendapat mayoritas Ulama?. Mereka tidak menuntut agar para tokoh Wahhabi mengembalikan bangunan Masjid As Sayyid Ali Al ‘Uraidhi, cucu Rasulullah SAW. Mereka tidak meminta agar bukit Uhud serta Masjid Sayyidina Hamzah dikembalikan apa adanya walaupun sejatinya hati mereka kecewa. Mereka pun tidak pernah menuntut agar mereka mengembalikan keberadaan tempat kelahiran Nabi sebagaimana adanya sebelum Negara direbut oleh Kerajan keluarga Saud?. bahkan mereka pun tidak berdemo di depan Ka’bah ketika – entah apa dalihnya – Kerajaan keluarga Saud itu menutup Sumur Zamzam. Adakah luka hati Ummat Islam akan dilanjutkan di negeri yang kita cintai ini?. Bila teman-teman Wahhabi menghentikan sikap arogannya, Insya Allah kami juga akan berhenti menulis tentang mereka. Tetapi selama mereka masih terus menghujat amaliah kaum Muslimin Indonesia, Insya Allah kami akan memberikan klarifikasi melalui media tulisan ini agar saudara-saudara kami tahu jalan sebenarnya. Kesemuanya itu agar tidak ada yang terluka dan bila terluka, biarlah kami yang mengobatinya meskipun hanya berupa “ramuan tradisional”.


Kedua, balajarlah untuk bersikap bijaksana dengan cara banyak membaca. Pelajarilah madzhab madzhab lain agar pikiran anda menjadi jernih dan dada anda semakin lapang. Masuklah ke Perpustakaan besar, jumpailah para Ulamanya. Jangan hanya bertemu orang-orang yang membatasi bacaannya dengan buku-buku Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Al Albani, Bin Baz, Utsaimin, Baklar Abu Zaid, At Tuwaijiri, As Sa’di, Al Jibrin, Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i dan kelompoknya. Bacalah pula karya-karya Hasan Al Banna, Yusuf Al Qaradhawi, Sayyid Qutub, Sa’id Hawwa dan komunitasnya. Jangan ketinggalan pula anda mambaca karya-karya Syekh Muhammad Zahid Al Kautsari, Syekh Maulana Zakariyya Al Kandahlawi, Syekh Mahmud Syaltut, Syekh Ali Jum’ah, Al Hafizh Abdullah Al Harari, Syekh Muhammad Shiddiq Al Ghumari, Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, Habib Muhdhar serta para Ulama yang sejalan dengan mereka. Ikhlaskan hati anda untuk menerima bimbingan para Ulama Shalihin tadi. Bila ternyata ada di antara kita – maaf bukan anda – yang kurang memahami kitab kitab berbahasa Arab, silahkan membaca buku-buku Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Hartono Ahmad Jaiz, Adian Husaini dari kelompok Wahhabi, tetapi bacalah pula buku-buku karya KH Siradjuddin Abbas, KH Muhammad Syafi’i Hadzami, KH Ali Maksum, KH Bisyri Mustofa, KH Muhyiddin Abdus Shomad dan lainnya dari kalangan Asy’ariyah. Setelah anda membaca semuanya, mohonlah petunjuk kepada Allah agar Dia membimbing anda menemukan jalan kebenaran serta arah keselamatan. Dengan cara ini, Insya Allah anda menjadi orang yang bijaksana tidak tenggelam dalam madzhab uring-uringan menjajakkan “Bid’ah” dan “Sesat” ke sana kemari. Wama Taufiqi Illa Billah.


Pernyataan: “.........Hal ini karena telah menjadi ketetapan para Imam Salafush Sholeh bahwa setiap pendapat dan perbuatan manusia harus ditimbang dengan Nash (Al Qur’an & Sunnah) & Ijma’. Siapapun yang sesuai dengan Nash & Ijma’ maka diterima darinya dan yang bertentangan dengan salah satu dari keduanya, maka harus ditolak ! hatta pendapat dari Imam Ibnu Qayyim sendiri atau Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ibnu Hajar, An Nawawi, Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Nashiruddin Al Albani, Utsaimin, Bin Baz, KH Ali Yafie, KH Sahal mahfuzh, Guru Besar Prof DR Quraish Shihab, Prof KH Ali Musthofa dll. Bagaimana jika pendapat dan perbuatan itu dari seorang KH Syarif Rhm..?. Wallohu A’lam ((0813822272xx tgl 18 januari 2010).


Tanggapan: Anda benar, semua yang anda sebutkan namanya tidak wajib diikuti manakala menyalahi Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’ Ulama, apalagi yang namanya disebut terakhir. Tapi bagaimana dengan pernyataan Al Imam Abdul Wahhab Asy Sya’rani yang mengatakan:


وَاَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ سَلَفًا وَخَلَفًا عَلَى اسْتِحْبَابِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى جَمَاعَةً فِي الْمَسَاجِدِ وَغَيْرِهَا مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ اِلَّا اِنْ شَوَّسَ ذِكْرُهُمْ باِلذِّكْرِ عَلَى نَائِمٍ اَوْ مُصَلٍّ اَوْ قَارِئٍ اَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مُقَرَّرٌ فِيْ كُتُبِ الْفِقْهِ.


Artinya: Para Ulama Salaf maupun Khalaf telah Ijma’ (konsensus) atas Sunnahnya Dzikrullah secara berjama’ah baik di Masjid-Masjid ataupun lainnya tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya, kecuali jika dengan dzikirnya itu mereka mengganggu orang yang tidur, orang yang shalat atau orang yang sedang membaca Al Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab Fiqh. (Kitab Al Anwar Al Qudsiyah halaman 31).


Semoga Allah menganugerahi kita semua pengetahun dan kebijaksanaan. Allahumma Amin.


H. Syarif Rahmat RA

Qum No.474 tgl 29 Muharram 1431 H/ 15 Januari 2010 M

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Dalam Timbangan Ulama


Pernyataan: Syekh Muhammad Abdul Wahhab (Muhammad bin Abdul Wahhab, pen) seorang Alim pembaharu di Saudi Arabiah yang sangat loyal pada Al Qur’an & Sunnah Rasul serta membenci hal-hal yang menyalahi keduanya, memusuhi bid’ah, khurafat, syirik. Wahabiyah: faham orang-orang yang mengikutinya. (0888083864xx tgl 7 Januari 2010)


Tanggapan: Demikian bunyi sebuah SMS dari salah seorang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab. Tujuan dari SMS tersebut jelas; mengajak penerimanya agar menjadi pengikut alirannya. Beberapa tahun terakhir ini memang banyak sekali beredar seruan dari kelompok yang lahir di Najd ini baik melalui buku-buku, siaran Radio, SMS maupun internet. Dakwah mereka cukup gencar, maklum didanai oleh sejumlah organisasi dari Kerajaan keluarga Sa’ud di Timur Tengah. Sebagaimana biasanya, Qum berusaha untuk selalu menyajikan informasi secara konprehensif untuk mengurangi kekurangan informasi yang terkadang disajikan di tengah masyarakat secara sepihak oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan. Adapun sikap para pembaca setelahnya, itu tergantung masing-masing pribadi. Minimal kami telah menyampaikan apa yang kami tahu dan dirasa perlu.


Berbeda dengan para Ulama semisal Al Imam Asy Syafi’i, Al Imam Ahmad bin Hanbal, Al Imam An Nawawi, Al Hafizh Al Imam Ibnu Hajar Al Asqallani yang disepakati kesalehan dan keulamaannya oleh seluruh ummat di penjuru dunia, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab ini merupakan tokoh kontroversial yang diperselisihkan kredibilitasnya. Sebagian menganggapnya sebagai pembaharu namun sebagian lain menganggapnya sebagai penebar kesesatan. Mereka yang berada pada kelompok pertama melihat bahwa kehadiran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah tokoh yang gigih menyelamatkan Akidah Islamiyah dari berbagai penyimpangan berupa kemusyrikan, khurafat dan bid’ah. Ia menyaksikan bahwa kaum muslimin telah terjatuh dalam amaliah jahiliyah berupa penyembahan terhadap kuburan, para Wali dan orang-orang saleh baik melalui tabarruk atau tawassul mereka dalam berdo’a kepada Allah. Oleh karena itu segala sarana yang akan mengantarkan manusia ke dalam kemusyrikan tersebut harus dimusnahkan. Dari fatwanya inilah kemudian seluruh kuburan para sahabat Rasulullah SAW, kubah-kubah makam keluarga beliau bahkan bangunan tempat di mana Rasulullah SAW dilahirkan dihancurkan diratakan dengan tanah. Belakangan Syekh Albani (sebagai salah seorang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab) bahkan menganjurkan agar Kubah hijau Masjid Nabawi di Madinah yang memayungi pusaran Rasulullah SAW dihancurkan. Pendek kata semua tempat atau benda-benda bersejarah harus dihancurkan karena khawatir disembah atau ditabarruki oleh manusia. Berbagai kegiatan seperti peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW harus dihentikan karena perbuatan tersebut merupakan bid’ah. Beberapa waktu yang lalu sempat berkembang wacana untuk menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang masih tersisa, namun alhamdulillah rencana tersebut dibatalkan karena kementrian yang ditunjuk tidak bersedia melaksanakannya karena banyak ditentang para Ulama termasuk KH Ma’ruf Amin dari Pimpinan Pusat Majleis Ulama Indonesia (MUI). Sedangkan dalam bidang Fiqh – menurut pengakuannya – Muhammad bin Abdul Wahhab adalah mengikuti Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Missi Muhammad binAbdul Wahhab mendapat kemudahan karena berkolaborasi dan mendapat dukungan dari Kerajaan keluarga Sa’ud yang telah berhasil merebut kekuasaan wilayah Hijaz dari Khilafah Islamiyah Turki Utsmani.


Adapun sebagian besar Ulama dan Ummat Islam berpendapat lain. Mereka menganggap Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai tokoh penebar kesesatan. Mereka bahkan mengaitkannya dengan sebuah Hadis:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ ذَكَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَأْمِنَا ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى يَمَنِنَا » . قَالُوا وَفِى نَجْدِنَا . قَالَ « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى شَأْمِنَا ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى يَمَنِنَا » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِى نَجْدِنَا فَأَظُنُّهُ قَالَ فِى الثَّالِثَةَ « هُنَاكَ الزَّلاَزِلُ وَالْفِتَنُ ، وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ » .رواه البخاري


Artinya: “Artinya: Rasulullah SAW pernah berdo’a: “Ya Allah, berkatilah untuk kami Syam kami, ya Allah, berkatilah untuk kami Yaman kami”. Para sahabat berkata: “Untuk Najd kami juga wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW berdo’a lagi: ““Ya Allah, berkatilah untuk kami Syam kami, ya Allah, berkatilah untuk kami Yaman kami”. Para sahabat berkata: “Untuk Najd kami juga wahai Rasulullah”. Untuk yang ketiga kalinya Rasulullah SAW bersabda: “Dari Najd-lah akan munculnya kegoncangan dan berbagai Fitnah dan di Najd itulah akan terbit tanduk Syetan” (HR Al Bukhari).


Menurut kelompok kedua ini, terpenuhinya ramalan Rasulullah SAW ini adalah dengan kedatangan Muhammad bin Abdul Wahhab karena secara kebetulan ia lahir di Najd dan missinya telah menimbulkan banyak kekacauan di dunia Islam. Mufassir kenamaan Al Imam Syekh Ahmad Shawi Al Maliki dalam tafsirnya bahkan menyebut kelompok Wahhabiyah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai Khawarij zaman ini. Ketika menafsirkan firman Allah:


إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (فاطر:6)


Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), Karena Sesungguhnya syaitan-syaitan itu Hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Fathir:6).


Ash Shawi menulis:


وَقِيْلَ هَذِهِ الْاَيَةُ نَزَلَتْ فِي الْخَوَارِجِ الَّذِيْنَ يُحَرِّفُوْنَ تَأْوِيْلَ الْكِتَابِ وَالسُّنَةِ وَيَسْتَحِلُّوْنَ بِذَلِكَ دِمَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ وَاَمْوَالَهُمْ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ الْاَنَ فِيْ نَظَائِرِهِمْ وَهُمْ فِرْقَةٌ بِاَرْضِ الْحِجَازِ يُقَالُ لَهُمْ الْوَهَّابِيَّةُ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ عَلَى شَيْئٍ اَلَا اِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ (المجادلة:19)


Artinya: “Dalam satu pendapat dikatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kaum Khawarij yang menyelewengkan makna Al Qur’an dan Sunnah serta menghalalkan darah kaum Musliimin dengannya sebagaimana juga dapat disaksikan saat ini orang-orang yang seperti mereka yaitu sebuah aliran di negeri Hijaz yang bernama Wahhabiyah. Mereka ini mengira berada dalam kebenaran. Ketahuilah, sungguh mereka itu benar-benar para pendusta. Syaitan Telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka Itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya golongan syaitan Itulah golongan yang merugi”(Al Mujadalah:19) (Lihat Tafsir Ash Shawi ‘Aala Al Jalalain terbitan Dar Ihya Al Kutub Al ‘Arabiyah Mesir pada Juz3 halaman 307-308).


Seorang Ulama terkenal dari Purwakarta Jawa Barat, Ahmad Bakri Sempur bin Tubagus Seda Kraton yang lebih dikenal dengan nama Mama Sempur Rahimahullah menulis sebuah risalah kecil berjudul: ايضاح الكراطنية فيما يتعلق بضلالة الوهابية (Penjelasan Keraton Berkaitan Dengan Kesesatan Aliran Wahhabiyah).


Hizbut Tahri Indonesia (HTI) memiliki catatan tersendiri tentang Wahhabi ini:


“perjuanagan Wahhabi akhirnya ditunggangi oleh keluarga Saud, yang nota bene antek-antek Inggris, untuk menciptakan instabilitas dan sparatisme di dalam tubuh Khilafah Islam pada waktu itu” (Buletin Dakwah Al Islam Edisi 468/tahun XVI halaman 3).


Seorang Muhaddits (pakar Hadis) abad ini Syekh Abdullah Al Harari mengemukakan tidak kurang dari 83 orang Ulama besar yang menyatakan kesesatan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab (Lihat kitabnya Al Maqalat As Sunniyyah halaman 250-251). Bahkan banyaknya Ulama yang menentang Muhammad bin Abdul Wahhab ini dikemukakan oleh para pengikutnya, antara lain Doktor Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al Abd Al Aziz dalam kitabnya Da’awa Al Munawi’in (lihat kitab tersebut terbitan Maktabah Ar Rusyd Riyad Saudi Arabia mulai halaman 47).


Kami tidak berhak menghakimi mana yang benar dan mana yang salah di antara kedua kelompok di atas. Bagi yang hendak mendalami dan mengetahui lebih jauh silahkan bertanya kepada para Ulama atau membaca kitab-kitab mereka. Ironis memang, ketika ada orang yang baru membaca buku-buku terjemahan dan penjelasan dari orang-orang yang bukan Ulama sudah berani mempromosikan sebuah ajaran seraya menganggap bahwa yang selainnya adalah salah. Mereka mengira bahwa yang diraihnya dari atas perahu itu adalah mutiara, padahal ia berada di dasar samudera. Mengapa mereka – sebagai orang awwam – tidak diam saja sambil mengamalkan yang diyakininya. Hasbunallah.


H. Syarif Rahmat RA


ISTIDRAJ


Pertanyaan: Ustadz apakah seseorang yang jarang melakukan shalat 5 waktu kalau berdo’a dapat dikabulkan oleh Allah SWT?. Jawaban selengkapnya tolong dimuat di Edisi Qum yang terbit setiap Jum’at supaya saya lebih paham. Terimakasih (0818029110xx tgl 17 Desember 2009).


Jawaban: Dalam sebuah Hadis diesbutkan:


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ فِي الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيْهِ مَا يُحِبُّ فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ، ثُمَّ تَلَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ (44). رواه أحمد والبيهقي في الشعب، والطبراني في الكبير


Artinya: “Apabila engkau menyaksikan Allah memberi anugerah kepada seorang hamba di dunia dalam keadaan maksiat, bukanlah itu karena Allah mencintainya, itu hanyalah istidraj (Jw:ulu-ulu, Sunda:dicombo). Kemudia Rasulullah SAW membaca firman Allah: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang Telah diberikan kepada mereka, kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa” (Al An’am:44) (HR Ahmad, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman dan Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir).


Jadi, bisa saja orang-orang yang meninggalkan shalat – sebagaimana anda tanyakan – diperkenankan harapannya, tetapi itu tak lebih dari sekedar istidraj yang akan memperbesar kecelakaannya. Na’udzu Billah Min Dzalik.

Qum No 473 tgl 22 Muharram 1431 H/ 8 Januari 2010

APA MANFAATMU?

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (البقرة:74)

Artinya: “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan” (Al Baqarah:74).

Ketika dicurahkan, air hujan jatuh di segala kawasan bumi tanpa kecuali. Tetapi kawasan bumi itu memang berbeda-beda. Tuhan menciptakan bebatuan itu beraneka ragam yang dengan keragamannya itu beragam pula fungsi dan manfaatnya. Di antara bebatuan ada yang mampu menampung air hujan dalam jumlah banyak sehingga ketika ia melepaskannya akan terciptalah sungai-sungai yang mampu mengantarkan air tadi ke daerah yang sangat jauh. Di dalamnya hidup dan berbahagia segala jenis binatang bahkan ia merelakan dirinya dihuni oleh aneka jenis makhluk yang saling berseteru. Tak dihempaskannya seekor buaya pun ke daratan sebagaimana ia pun tak pernah mengecewakan seekor ikan. Lihatlah kebun-kebun dialirinya hingga dari rumput yang paling kerdil sampai pohon raksasa yang tinggi dapat beroleh bahagia. Sungguh, ia tidak pernah membalas dendam kepada bangkai-bangkai yang pernah mengotorinya. Ketahuilah, biasanya batu-batu ini ada di gunung-gunung dan terpendam di dataran tinggi. Keberadaan air yang tertimbun di dalamnya tak nampak dari luar karena tertutupi tanah yang amat tebal dan rimbunnya pepohonan. Jangan bertanya kepada orang kebanyakan sebab mereka tak akan mengetahuinya, bahkan jika engkau mengatakannya mereka tak akan mempercayainya.

Ada pula bebatuan yang hanya mampu menampung dalam ukuran sedang. Ia mungkin tidak tak pernah menyumbangkan apa yang dimilikinya, akan tetapi ia telah membuat orang yang melihat terhibur hatinya. Dapat pula ia memberi guna, hanya saja bagi mereka yang sengaja mendatanginya, sedangkan yang jauh tak pernah dapat memanfaatkannya.

Ada pula batu yang tak kuasa menahan derasnya hujan hingga dengan tetesannya ia hancur lalu larut dengan tanah bumi. Ia tak memberi manfaat bagi sesama, tidak pula memberikan keindahan bagi yang memandangnya. Meskipun demikian, sekurang-kurangnya ia tidak menjadi pengganjal bagi orang-orang yang hendak lalu di hadapannya, ia terima serta rela dengan keadaan dan nasib dirinya.

Al Qur’an adalah firman Tuhan yang dicurahkan ke dalam hati ummat manusia secara merata, hanya memang terkadang jenis hatinya pula yang tiada sama. Di antara manusia ada yang diberi hati besar hingga dapat menampung banyak pesan-Nya dan suatu ketika bila tiba saatnya, ia akan mengalirkannya ke seluruh kawasan kehidupan tanpa menyisakan satu wilayah pun tak tersiram hikmahnya. Mereka yang beruntung mendapatkan kepercayaan ini adalah para Auliya. Firman Tuhan tertanam begitu dalam di lubuk hatinya. Seorang Wali bukanlah mereka yang hanya pandai memainkan kata-kata dalam menafsirkannya, bukan pula yang mampu menjawab pertanyaan lisan yang diajukan kepadanya. Seorang Wali adalah orang yang firman Tuhan telah menjadi pakaiannya, Syari’at Tuhan telah menjadi kesehariannya. Lalu bila saatnya tiba, mereka akan mengalirkannya ke tengah kehidupan manusia hingga jauh melewati batas-batas yang selama ini menjadi sekat di tengah kehidupan mereka. Ia menginginkan kebahagiaan bagi semua, ia berharap kedamaian tercipta di dunia. Tetapi janganlah engkau bertanya tentang dirinya kepada orang-orang yang tak mengenalnya sebab yang akan engkau dapatkan pasti hanya cela yang menodai kemuliaannya. Tidak perlu pula memujinya di hadapan mereka sebab mereka akan menganggapmu orang gila. Biarlah ia apa adanya, sebab ia sendiri tak meminta apa-apa dari yang dilakukannya. Orang-orang seperti inilah yang layak mendapat sebutan “Putera Terbaik” bagi suatu bangsa. Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ اَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling berguna bagi sesama manusia”.

Ada pula di antara manusia yang dipercaya Tuhan untuk menaburkan bahagia bagi lingkungan sekitarnya. Ia memang tak dapat memberikan sumbangsih bagi suatu bangsa, namun perilakunya menciptakan kesejukan bagi orang di sekitarnya. Orang yang menjumpainya akan merasakan keteduhan dalam hatinya. Bagai sebuah pohon yang rindang yang siap menaungi siapa pun yang menghampirinya. Sungguh beruntung sebuah masyarakat yang bertetangga dengannya.

Tingkatan lainnya adalah manusia yang tersentuh hatinya kala mendengar firman Tuhan lalu diikuti dengan pengabdian dan kepasrahan terhadap kebijakan-Nya. Ia memang tak memberikan guna sama sekali bagi sesama, akan tetapi jiwanya tulus menerima taqdir-Nya, ia ikhlas mempersembahkan segala pengabdian kepada-Nya. Jadi, ia selamat dari kemarahan Allah terbebas dari tuntutan manusia. E

Nasib paling buruk adalah orang-orang yang digambarkan di permulaan ayat yaitu mereka yang “hatinya keras bagaikan batu atau lebih keras dari itu”. Gambaran ini diberikan kepada manusia-manusia yang telah mendengar firman Allah, namun ia tidak mau peduli dengan pesannya tidak pula merubah perilakunya. Mereka merupakan orang-orang yang dalam hatinya tidak ada keinginan memberi guna kepada sesama. Bagi mereka kebenaran adalah mengalahkan lawan bicaranya dan unggul hujjah-hujjahnya. Akibat yang ditimbulkannya memang menunjukkan akan kepandaiannya, namun tak manarik banyak orang untuk mengikutinya. Agama tak membuatnya indah dan menawan orang yang menyaksikannya apalagi membuat bahagia mereka.

Adalah sebuah pertanyaan, adakah kita telah termasuk dalam salah satunya ?. bersyukurlah bila ternyata kita ada tempat di antara ketiganya. Tetapi bila tidak, memohonlah kepada Allah, sebab jangan-jangan kita tak lebih baik dari makhluk piaraan yang diberi makan rumput oleh pemiliknya.

Hasbunallah

H. Syarif Rahmat RA

TUHAN SEPERTI MANUSIA?

Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah Hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا ، فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ جُلُوسٌ ، فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ ، فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ . فَقَالَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ . فَقَالُوا السَّلاَمُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ . فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ، فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ ، فَلَمْ يَزَلِ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الآنَ

Artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuknya tingginya enam puluh hasta. Ketika selesai menciptakannya Allah berfirman: “Pergilah dan ucapkanlah salam kepada sekelompok Malaikat yang duduk duduk itu lalu dengarkanlah bagaimana mereka menghormatimu karena itu merupakan penghormatanmu dan penghormatan anak cucumu. Maka Adam berkata: “Salam sejahtera untuk kamu semua”. Mlaikat menjawab: “Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah pula kepadamu”. Mereka menambah kata “Warahmatullah”. Oleh karena itu setiap orang yang masuk Surga keadaannya seperti Aam. Sejak saat itu tubuh manusia senantiasa berkurang hingga sekarang” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Berkenaan dengan Hadis ini seorang Ulama Wahhabi Syekh Abdul Azizi bin Abdullah bin Baz mengatakan:

وَالْمَعْنَى وَاللهُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ ذَا وَجْهٍ وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ يَسْمَعُ وَيَتَكَلَّمُ وَيُبْصِرُ وَيَفْعَلُ مَا يَشَاءُ ، وَلَا يَلْزَمُ أَنْ تَكُوْنَ الصُّوْرَةُ كَالصُّوْرَةِ وَهَذِهِ قَاعِدَةٌ كُلِّيَّةٌ فِيْ هَذَا الْبَابِ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.

Artinya: “Maknanya, wallahu A’lam bahwa Allah menciptakan Adam seperti bentuk-Nya yang mempunyai wajah, pendengaran dan penglihatan, bisa mendengar, berbicara, melihat dan mengerjakan apa yang dikehendakinya. Namun hal tersebut tidak musti berarti bahwa bentuk Allah itu seperti bentuk kita. Ini adalah kaidah umum dalam masalah ini menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” (Lihat pula dalam buku Memahami Ayat-Ayat dan Hadits Hadits Kontradiksi halaman 151).

Kata “Ala Shuratihi” dalam Hadis ini diartikan oleh Syekh Bin Baz dengan “Sesuai Rupa Allah” atau “Bentuk Allah” sehingga Hadis tersebut berarti “Adam menyerupai Allah”. Meskipun ditambah dengan kata “bentuk Allah tidak seperti bentuk kita”, tetap saja artinya adalah Adam seperti Tuhan. Pemaknaan seperti itu mungkin tidak akan terjadi manakala Syekh mau melihat dan memahami Hadis lain di antaranya:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَفِى حَدِيثِ ابْنِ حَاتِمٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ ». رواه الامام احمد ومسلم

Artinya: “Bila seseorang di antara kamu bertengkar (memukul) hindarilah jangan sampau memukul mukanya karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti bentuknya” (HR Ahmad dan Muslim).

Yang dimaksud dengan “Bentuk Adam seperti bentuknya” dalam Hadis ini jelas yaitu “Bentuk Adam seperti bentuk orang itu”. Dengan demikian mengartikan Hadis sebagaimana yang dikemukakan Bin Baz jelas merupakan penyimpangan dan merupakan Akidah kaum Mujassimah (Aliran yang menyerupakan Tuhan dengan Makhluk-Nya). Penting pula diketahui bahwa anggapan bahwa Adam itu serupa dengan Allah terdapat di dalam Kitab Perjanjian Lama. Kitab Kejadian 1:26 mengatakan:

“Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."

Wallahu A’lam