Pertanyaan:
“Mana yang ahli bid’ah apakah orang yang mengatakan bahwa puasa Rajab tidak ada dasarnya/hadisnya dho’if atau yang mengamalkannya padahal tidak ada contohnya dari Nabi”? (SMS 02191220016)
Jawaban:
Orang yang berpuasa di bulan Rajab telah melaksanakan Sunnah Rasulullah SAW karena menurut asalnya berpuasa pada bulan apa saja disyari’atkan kecuali pada hari-hari yang dilarang sebagaimana kami jelaskan sebelum ini.
Adapun tentang puasa di bulan Rajab terdapat sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عِيسَى حَدَّثَنَا عُثْمَانُ - يَعْنِى ابْنَ حَكِيمٍ - قَالَ سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنْ صِيَامِ رَجَبَ فَقَالَ أَخْبَرَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ
Artinya: Utsman Ibnu Abi Hakim berkata: Aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang puasa bulan Rajab. Maka Sa’id bin Jubair menjawab: Ibnu Abbas menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW itu pernah berpuasa terus menerus hingga kami mengira beliau tidak akan berbuka (tidak puasa) pernah juga beliau tidak puasa hingga kami menduga beliau tidak akan puasa. (HR Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al Albani. Lihat kitabnya Shahih Sunan Abi Dawud Juz 2 halaman 76).
Berkenaan dengan Hadis ini tokoh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yaitu Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
الظَّاهِر أَنَّ مُرَاد سَعِيد بْن جُبَيْر بِهَذَا الِاسْتِدْلَال أَنَّهُ لَا نَهْي عَنْهُ وَلَا نَدْب فِيهِ لِعَيْنِهِ بَلْ لَهُ حُكْم بَاقِي الشُّهُور ، وَلَمْ يَثْبُت فِي صَوْم رَجَب نَهْي وَلَا نَدْب وَلَا نَهْي لِعَيْنِه، وَلَكِنَّ أَصْل الصَّوْم مَنْدُوب إِلَيْهِ . وَفِي سُنَن أَبِي دَاوُدَ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَدَبَ إِلَى الصَّوْم مِنْ الْأَشْهُر الْحُرُم وَرَجَب أَحَدهَا وَاللَّهُ أَعْلَم.
Artinya: Yang nampak dari Hadis tersebut bahwa tujuan Sa’id bin Jubair mengucapkan kata-kata tersebut adalah bahwa tidak ada larangan berpuasa bulan Rajab dan tidak ada pula perintah mengerjakannya, akan tetapi hukumnya adalah sama seperti berpuasa di bulan-bulan lainnya. Dan tidak ada keterangan yang kuat berkenaan dengan perintah atau larangan puasa Rajab ini, tetapi pada dasarnya puasa itu disunnahkan. Dalam Sunan Abi Dawud dikemukakan bahwa Rasulullah SAW menganjurkan puasa pada bulan-bulan Haram sedangkan bulan Rajab itu merupakan salah satunya. Wallahu A’lam.(Lihat ‘Aun Al Ma’bud juz 7 halaman 67. Lihat pula Ittihaf As Sadat Al Muttaqin karya Al Imam As Sayyid Muhammad bin Muhammad Al Husaini Az Zabidi pada Juz 4 halaman 427). Bahkan menurut analisa kami pernyataan sahabat Nabi SAW yang bernama Sa’id bin Jubair ini mengisyaratkan bahwa Rasulullah SAW biasa puasa di bulan Rajab sebagaimana pada bulan-bulan lainnya.
Dan yang bid’ah adalah orang yang melarang berpuasa di bulan Rajab karena orang tersebut telah membuat syari’at baru berupa larangan terhadap yang tidak dilarang oleh Agama. Sedangkan orang yang mengatakan bahwa puasa bulan Rajab tidak ada contohnya dari Nabi SAW adalah orang sesat dan menyesatkan.
Dengan demikian orang yang berpuasa bulan Rajab itu adalah Ahlus Sunnah dan yang melarangnya adalah Ahli Bid’ah. Wallahu A’lam.
Syarif Rahmat RA
MENGKRITISI ULAMA
Pernyataan:
Saudara Syarif Rahmat RA, anda masih bodoh terhadap ilmu jangan sok2an mengkritisi Ulama besar Syekh Ibnu Taimiyah dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Dan kami sangat faham salah satu ciri dari ahli bid’ah adalah mencela dan merendahkan Ulama, anda ga ngaca siapakah anda?. Semoga Allah mengampuni kejahilan dan kebobrokan tulisan anda di Qum no. 489-4/6/10 (081808515798).
Tanggapan:
Pertama, Pernyatan anda bahwa kami bodoh adalah benar sekali karena kami memang hanya pengikut dari Ulama yang telah disepakati kredibilitasnya oleh dunia Islam seperti Al Imam Asy Syafi’i, Al Imam Ibnu Hajar Al Asqallani, Al Imam An Nawawi, Al Imam As Suyuthi dan lainnya. Dengan ini kami mengucapkan “Salama” kepada anda sesuai tuntunan Allah dalam Al Qur’an (Al Furqan:63).
Kedua, sesungguhnya apa yang kami lakukan hanyalah menunaikan amanah ilmiyah menyangkut hal-hal yang sebenarnya. Kaum Muslimin harus diberitahu bahwa ada pendapat yang berbeda dari pendapat yang dianut oleh kaum Wahhabi – kaum anda – yang dipegangi oleh mayoritas Ulama. Ini harus disampaikan mengingat memang itulah yang selama ini menjadi pegangan kaum Muslimin Indonesia bahkan di seluruh dunia agar mereka tidak ragu-ragu dengan apa yang telah diyakininya. Tentu saja sasarannya bukanlah kaum Wahhabi, toh mereka tidak akan pernah mau mendengarkan Ulama di luar madzhabnya. Bahwa ada di antara tulisan itu yang sampai kepada kaum Wahhabi, kami berharap mudah-mudahan Allah membuka hati mereka agar jangan terus menerus menebarkan permusuhan ke tengah Ummat Islam. Silahkan kaum Wahhabi dengan ajarannya dan biarkan kaum Muslimin dengan keyakinannya.
Ketiga, salah satu semboyan anda adalah kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan haram taklid. (Kami hargai seruan anda itu walaupun – setahu kami – anda dan kelompok anda pun dalam berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah itu terbatas pada versi Ulama Wahhabi dan yang sejalan dengannya serta tidak berijtihad sendiri). Tetapi ketika kami dalam Qum 489 mencantumkan ayat dan Hadis sebagai pembanding bagi pemikiran-pemikiran yang ada, anda malah menuduh kami mengkritisi Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini sebuah keanehan karena kami tidak tahu apakah yang anda dan kelompok anda maksudkan dengan “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu benar-benar merujuk kepada keduanya atau “Kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut versi Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab”. Jika yang pertama, kami telah mencoba melakukannya. Tetapi jika yang kedua, itu bahkan taklid buta namanya, sebuah istilah yang kami yakin anda dan kelompok anda alergi mendengarnya.
Keempat, kami pun yakin anda adalah seorang Alim melalui ucapan anda “Dan kami sangat faham salah satu ciri dari ahli bid’ah adalah mencela dan merendahkan Ulama”. Namun maaf, ucapan tersebut setahu kami bukan hasil ijtihad anda melainkan ucapan salah seorang Ulama Wahhabi dari Timur Tengah. Meski demikian kami setuju dengan anda dan untuk contohnya kami cantumkan ucapan Syekh Utsaimin ketika menanggapi Syekh Albani yang menfatwakan tidak bolehnya mengumandangkan Adzan Jum’at dua kali:
ثُمَّ يَأْتِيْ رَجُلٌ فِيْ هَذَاالْعَصْرِ لَيْسَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ الْعِلْمِ وَيَقُوْلُ اَذاَن ُالْجُمْعَةِ الْاَوَّلُ بِدْعَةٌ لِاَنَّهُ لَيْسَ مَعْرُوْفًا عَلَى عَهْدِ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم وَيَجِبُ اَنْ نَقْتَصِرَ عَلَى الْاَذَانِ الثَّانِيْ فَقَطْ. فَنَقُوْلُ لَهُ اِنَّ سُنَّةَ عُثْمَانَ رضي الله عنه سُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ اِذَا لَمْ تُخَالِفْ سُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَلَمْ يَقُمْ اَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ الَّذِيْنَ هُمْ اَعْلَمُ مِنْكَ وَاَغْيَرُ عَلَى دِيْنِ اللهِ بِمُعَارَضَتِهِ وَهُوَ مِنَ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ الَّذِيْنَ اَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِاتِّبَاعِهِمْ. ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ رضي الله عنه اعْتَمَدَ عَلَى أَصْلٍ، وَهُوَ أَنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ قَبْلَ الْفَجْرِ فِيْ عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، وَلَكِنْ لِيَرْجِعَ الْقَائِمَ وَيُوْقِظَ النَّائِمَ، كَمَا قَالَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَ عُثْمَانُ بِالْأَذَانِ الْأَوَّلِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ ، لَا لِحُضُوْرِ الْإِمَامِ، وَلَكِنْ لِحُضُوْرِ النَّاسِ، لِأَنَّ الْمَدِيْنَةَ كبُرَتْ وَاتَّسَعَتْ وَاحْتَاجَ النَّاسُ أَنْ يَعْلَمُوْا بِقُرْبِ الْجُمْعَةِ قَبْلَ حُضُوْرِ الْإِمَامِ، مِنْ أَجْلِ اَنْ يَكُوْنَ حُضُوْرُهُمْ قَبْلَ حُضُوْرِ الْإِمَامِ.
Artinya: Kemudian datanglah seorang laki-laki di zaman ini yang tidak memiliki sedikit pun ilmu pengetahuan dan mengatakan bahwa adzan Jum’at yang pertama itu bid’ah karena tidak dikenal pada masa Rasulullah SAW dan kita wajib membatasi hanya dengn adzan yang kedua saja. Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya Sunnah Utsman RA itu sunnah yang patut diikuti jika tidak menyalahi Sunnah rasulullah SAW dan tidak ada seorang sahabat pun – yang lebih tahu dan lebih cemburu dari kamu dalam berpegang kepada Agama Allah – yang menentangnya. Dan Utsman itu adalah salah seorang Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk yang kita diperintah untuk mengikuti mereka. Kemudian sesungguhnya Utsman itu berpegang kepada satu dasar pokok yaitu bahwa Bilal itu mengumandangkan Adzan pada waktu malam sebelum datangnya fajar(subuh) pada masa Nabi SAW bukan untuk shalat subuh melainkan untuk mengembalikan orang yang qiyamullail dan membangunkan orang yang tidur sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. Maka adapun Utsman memerintahkan agar dikumandangkan Adzan awwal pada hari Jum’at bukan untuk mendatangkan Imam melainkan mendatangkan masyarakat karena saat itu kota Madinah telah melebar dan meluas sehingga orang-orang perlu mengetahui bahwa saat Jum’at telah dekat sebelum datangnya imam agar supaya mereka lebih dahulu datang sebelum Imam. (Lihat dalam Majmu Fatawa Wa Rasa’il Syekh Utsaimin pada bagian Syarh Aqidah Thahawiyah Juz 8 halaman 638-639).
Nah apakah orang yang mengucapkan kalimat tersebut anda akan katakan ahli bid’ah karena mencela Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani?. Jika ya, saatnya anda melakukan protes kepadanya atau kepada para pengikutnya karena membiarkan kitab Fatwa tersebut terus diterbitkan dan diedarkan.
Wallahu A’lam