Halaman

Jumat, 04 Juni 2010

Qum 479 tgl 19 Rabi’ul Awal 1431 H/ 5 Maret 2010 M


RAGAM KEPENTINGAN


قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَلًا (103) الَّذِين ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الحَيوةِ الدُّنيَا وَهُم يَحْسَبُونَ أَنَّهُم يُحْسِنُونَ صُنْعَا (104) }الكهف: 103-

104{

Artinya: Katakanlah: "Maukah Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Al Kahfi: 103-104).


Sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan kepemimpinan kaum Muslimin dipercayakan kepada Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW. Tugas berat yang harus segera diselesaikan adalah memulihkan keamanan dan mengokohkan kembali barisan Ummat Islam. Tetapi ia pun dituntut untuk segera menyelesaikan kasus kematian Khalifah sebelumnya. Keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencapai ambisinya. Ali sadar benar bahwa pembunuhan Utsman adalah kejahatan besar dan pembunuhnya harus diqishash. Tetapi rakyat terbelah, mereka memiliki kepentingan beragam. Sebagian menginginkan pembunuh Utsman segera ditangkap dan dilaksanakan eksekusi terhadapnya demi kepastian hukum dan kewibawaan negara.


Tetapi sebagian lain memiliki maksud tersendiri. Mereka tidak ada urusannya sama sekali dengan penegakan hukum. Yang mereka inginkan satu dari dua pilihan; kalau mungkin merebut kekuasaan melalui gerakan rakyat, atau jika tidak – minimal – kepala negara dimakzulkan. Untuk memenuhi keinginannya itu kelompok tadi tidak segan-segan melakukan pembusukan. Mereka menebarkan isu bahwa kebijakan menunda proses hukum yang dilakukan pemerintahan Ali bin Abi Thalib mengindikasikan adanya keterlibatan sang Khalifah dalam kasus tersebut. Spekulasi ini kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang berujung pada tuntutan masyarakat agar Ali melepaskan jabatannya. Sangat disesalkan memang, masyarakat mudah percaya. Setiap berita yang sampai, ditelan dengan tanpa dipikir atau diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Akhir dari “sandiwara” ini tragis, Ali sebagai Kepala Negara yang sah diturunkan dari jabatannya dalam sebuah sidang istimewa yang telah dirancang oleh Mu’awiyah dan kroni-kroninya. Dan selanjutnya, berdasarkan “kesepakatan”, Mu’awiyah bin Abu Sufyan – sang pemimpin gerakan – diangkat menjadi Khalifah atau lebih tepatnya menjadi Raja karena setelah itu kekuasaan diwariskan kepada anak cucunya. Dengan demikian tercapailah sudah sebuah episode. Dan dengan ini terjawablah sudah teka-teki di balik hiruk piruk yang selama ini samar-samar.


Banyak orang yang menyesali. Mereka ingin agar hari dapat diputar ke belakang. Sayang, nasi telah menjadi bubur, babak baru dalam masyarakat Islam pun dimulai. Sebuah kerajaan bernama Bani Umayyah telah diproklamirkan. Sekedar untuk catatan Mu’awiyah adalah keturunan Bani Abdu Syams yang sejak lama kehilangan kedudukan terhormat di kalangan bangsa Arab. Apakah keinginan mengembalikan kebesaran leluhurnya yang mendorongnya berbuat makar terhadap Khalifah yang sah? Biarkan para penulis sejarah untuk menceritakan apa adanya dan jangan pernah kita menambahkan apa yang kita tidak tahu duduk perkaranya. Pun, kita tidak boleh lupa, Mu’awiyah bin Abu Sufyan ini adalah salah seorang Sahabat Rasulullah SAW, bahkan menurut satu keterangan ia pernah terlibat sebagai penulisan wahyu.


Sebuah pelanggaran mungkin terjadi dalam sebuah negara. Rakyat tentu saja membutuhkan penjelasan dan kejelasan. Tetapi yang harus diwaspadai adalah orang-orang yang ndompleng di atas kendaraan. Mereka biasanya dari kelompok atau orang yang merasa “terkalahkan” dalam hidupnya. Target mereka tidak ada kaitannya dengan yang diucapkannya. Meski rakyat yang menjadi pembicaraannya, sesungguhnya akal mereka bersama dengan hawa nafsunya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang telah digelapkan hatinya oleh iri dengki. Ketika hasud sedemikian kuat menancap dalam dadanya dan Syetan pun menyatu dalam jiwanya, rasa malu hilang dari dirinya berubah menjadi gerakan membabi buta demi kepuasan pribadinya. Meski akibat ulahnya banyak yang dirugikan dan tak ada rakyat yang diuntungkan, toh ia merasa itu adalah kebenaran. Demikianlah bila hati manusia telah dipenjara Syetan.


Dalam keadaan seperti ini para pemimpin, wakil Rakyat dan penegak hukum hendaknya waspada karena sejarah sering berulang di tempat yang berbeda. Hasbunallah


H. Syarif Rahmat RA


“MALIKI YAUMIDDIN”


Pertanyaan: Ass....Pa Ust. Maaf saya mo tanya, saya termasuk Jama’ah setiap hari sabtu di Rumah Sakit Pasar Rebo. Saya mo nanya, dalam Tafsir Al Qur’an saya baca, Syekh Muhammad Abduh di dalam Shalat membaca Al Fatihah pada kalimat ‘MALIKI YAUMIDDIN’ pada kalimat MAALIKI, MAA nya dibaca pendek. Apakah boleh Ust? Minta tolong penjelasannya, kurang lebihnya mohon maaf, wassalam. Rohman (0813845419xx tgl 2 Maret 2010 jam 09:25).


Jawaban:


Wa’alaikumus Salam wr.wb. Para Qari memang berbeda pendapat dalam membaca lafazh tersebut. Sebagian membacanya dengan pendek pada huruf “Mim” sehingga bacaannya menjadi:


مَلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ


Ini adalah Qira’at Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah dan Abu Ja’far. Tetapi pada Qira’at lain dibaca dengan panjang pada huruf “Mim” sehingga bacaannya menjadi:


مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ


Dan ini adalah Qira’at ‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf. Jadi apabila Muhammad Abduh membaca dengan “Mim” pendek, bisa jadi karena ia menggunakan Qira’at yang kami sebutkan pertama di atas. Itu dibenarkan karena memang bersumber dari Rasulullah SAW. Akan tetapi jika di Indonesia – karena Qira’atnya menggunakan Qira’at Hafs yang bersumber dari Imam ‘Ashim – maka tidak dibenarkan membaca dengan “Mim” pendek. Dengan demikian bacalah sesuai dengan Mushaf Al Qur’an yang ada di Indonesia yaitu panjang huruf “Mim”–nya. Wallahu A’lam.


Pertanyaan: Kyai apa perbedaan signifikan antara Al Muzzammil dengan Al Muddatstsir. Mohon keterangan. Wassalam. Om Jack (021 322306xx)


Jawaban: Kata Al Muzzammil dan Al Muddatstsir memiliki arti kata yang sama, yaitu “yang berselimut”. Oleh karena itu sebagian Ulama berpendapat bahwa keduanya tidak ada perbedaan. Akan tetapi menurut pendapat kami (Sy) kedua kata tersebut memiliki perbedaan dan spesifikasi penggunaan. Kata Al Muzzammil dipergunakan pada hal-hal yang bersifat fisik, oleh karena itu kata tersebut digandengkan dengan perintah bangun malam. Firman Allah:


يَأَيُّهَا الْمُزَمِّلُ (1) قُمِ الَيْلَ إِلَّا قَلِيْلًا (2) ( المزّمّل: 1-2 )


Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit daripadanya”. (Al Muzzammil: 1-2).


Sedangkan kata Al Muddatstsir dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan. Itu sebabnya Allah menggandengkan kata tersebut dengan perintah untuk bangkit dan memberikan peringatan. Firman Allah:


يَأَيُّهَا المُدَّثِّرُ (1) قُْم فَأَنْذِرُ (2) ( المدّثّر: 1-2 )


Artinya: “Hai orang yang berselimut bangunlah, lalu berilah peringatan!” (Al Muddatstsir: 1-2).


Wallahu A’lam.

1 komentar:

  1. tentang bacaan malikiyaumidin ini ada referensi lain http://slamet-muhlis.blogspot.com/2012/06/qiroah-sabah.html

    BalasHapus