Halaman

Minggu, 06 Juni 2010

Qum 487 tgl 7 Jumadil Tsani 1431 H/ 21 Mei 2010 M


JANGAN MEMPERSEMPIT

(Lanjutan Meluruskan Jalan Pikiran)


Bila terdapat sebuah amaliah yang dikerjakan salah seorang Ulama namun kita tidak menemukan dalil yang menjadi pendukungnya menurut jalan pikiran kita, maka hendaklah kita meyakini bahwa hal tersebut merupakan buah dari hasil ijtihadnya atas nash-nash Syari’at. Selanjutnya manakala kita hendak memberikan penilain, maka terlebih dahulu kita melengkapi pengetahuan kita hingga setara dengan mereka atau membaca jalan pikiran Ulama tersebut baik dengan cara bertemu dengannya atau murid-muridnya. Jika ini pun tidak dapat dilakukan, maka sekurang-kurangnya kita membaca karya-karya tulisnya karena medan ijtihad itu sangat luas bentangannya. Adalah sebuah kesesatan manakala orang awwam menvonis sesat terhadap hasil ijtihad Ulama.


Sebagai contoh dapat dikemukakan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِذَا نُودِىَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ.رواه البخاري ومسلم


Artinya: “Apabila dikumandangkan (Adzan) untuk Shalat, maka Syetan pergi menjauh seraya terkentut-kentut menghindar hingga tidak mendengar Adzan...” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Pada umumnya orang memahami bahwa Adzan itu hanya dikumandangkan untuk menyeru manusia agar menunaikan Shalat dan karenanya hanya dilakukan pada saat waktu Shalat telah tiba. Akan tetapi di antara Ulama Salaf – merujuk kepada teks ini – memiliki pemahaman lain. Muslim meriwayatkan:


عَنْ سُهَيْلٍ قَالَ أَرْسَلَنِى أَبِى إِلَى بَنِى حَارِثَةَ - قَالَ - وَمَعِى غُلاَمٌ لَنَا - أَوْ صَاحِبٌ لَنَا - فَنَادَاهُ مُنَادٍ مِنْ حَائِطٍ بِاسْمِهِ - قَالَ - وَأَشْرَفَ الَّذِى مَعِى عَلَى الْحَائِطِ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لأَبِى فَقَالَ لَوْ شَعَرْتُ أَنَّكَ تَلْقَى هَذَا لَمْ أُرْسِلْكَ وَلَكِنْ إِذَا سَمِعْتَ صَوْتًا فَنَادِ بِالصَّلاَةِ فَإِنِّى سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « إِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا نُودِىَ بِالصَّلاَةِ وَلَّى وَلَهُ حُصَاصٌ »رواه مسلم


Artinya: Suhail berkata: Aku diutus oleh ayahku ke Bani Haritsah bersama seorang temanku. Tiba-tiba dari sebuah dinding ada suara yang memanggil nama temanku itu. Temanku itu menghampiri dinding tadi namun tidak mendapatkan siapa-siapa. Aku kemudian menceritakan kejadian itu kepada ayahku. lalu ia berkata: “Sekiranya aku tahu kamu akan mendapatkan hal tersebut, niscaya aku tidak akan mengutus kamu. Akan tetapi jika kamu mendengar suara (tanpa rupa,pen) kumandangkanlah seruan Shalat karena aku mendengar Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Syetan itu apabila dikumandangkan seruan Shalat (Adzan) akan berpaling sambil terkentut-kentut”. (HR Muslim).


Perhatikan bagaimana seorang Ulama Salaf memahami sabda Rasulullah SAW dari sisi yang berbeda dengan umumnya manusia. Ia menangkap isyarat bahwa Syetan takut dan akan menjauh bila mendengar kalimat Adzan dikumandangkan. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa mengumandangkan kalimat Adzan itu dibenarkan untuk mengusir Syetan. Apakah kita akan mengatakan bahwa ia telah melakukan bid’ah?. Al Hamdulillah tidak seorang pun Ulama mengatakannya demikian. Dari sini dapat dipahami bila ada di antara manusia yang ketika mengusir Jin dari tubuh orang yang kesurupan, mengumandangkan Adzan di telinganya.


Rasulullah SAW sendiri berpesan agar kalimat Adzan dikumandangkan di telinga bayi yang baru dilahirkan dengan tujuan agar bayi tersebut tidak diganggu Syetan.


عَنْ حُسَيْنٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى ، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ. رواه ابو يعلى الموصلي


Artinya: “Barangsiapa yang mendapatkan anak lalu mengumandangkan Adzan pada telinga kanannya dan Iqamat pada telinga kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh Ummu Shibyan (Kuntilanak, pen)” (HR Abu Ya’la).


Bahkan pada masa Rasulullah SAW pun Adzan digunakan untuk menyuruh orang berhenti Shalat dan membangunkan orang yang tidur agar segera bersantap sahur.


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ - أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ - أَذَانُ بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ يُنَادِى - بِلَيْلٍ ، لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ ، وَلَيْسَ أَنْ يَقُولَ الْفَجْرُ أَوِ الصُّبْحُ » .


Artinya: “Janganlah kalian terhalang oleh Adzan Bilal untuk makan sahur karena ia mengumandangkan adzan masih di waktu malam hanyalah untuk menyuruh pulang orang yang sedang Qiyamullail di antara kamu dan membangunkan yang tidur di antara kamu serta bukan untuk memberi tahu kamu bahwa fajar atau Subuh telah tiba” (HR Al Bukhari dan Muslim).



Lalu kira-kira hikmah apa di balik penggunaan kalimat Adzan ini untuk membangunkan manusia?. Dalam sebuah Hadis disebutkan:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلٌ فَقِيلَ مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ مَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . فَقَالَ « بَالَ الشَّيْطَانُ فِى أُذُنِهِ »رواه البخاري ومسلم


Artinya: Seorang laki-laki dibicarakan di hadapan Nabi SAW lalu ada yang mengatakan bahwa ia tertidur hingga pagi dan tidak menunaikan Shalat. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Orang itu telinganya dikencingi Syetan” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Jika pikiran kita buruk maka kita akan mempertanyakan perbuatan Rasulullah SAW dengan mengatakan, “Apa hubungannya santap sahur dengan Adzan?. Bukankah Adzan dikumandangkan untuk Shalat bukan malah menghentikan Shalat atau membangunkan tidur?”. Lalu apakah kita akan katakan Rasulullah SAW tidak punya pendirian karena menugaskan Adzan sahabatnya untuk selain Shalat?


Rupanya Khalifah Utsman Ibn Affan memahami cara pandang Rasulullah SAW sehingga beliau menggunakan kalimat Adzan untuk menyeru manusia agar pulang dari pasar sebagai persiapan menghadiri ibadah Jum’at. Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan:


عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ - رضى الله عنهما - فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ - رضى الله عنه - وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. رواه البخاري ومسلم


Artinya: Pada mulanya seruan (Adzan) pada hari Jum’at – pada masa Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar dan Umar RA – adalah ketika Imam duduk di Mimbar. Ketika pada masa Khalifah Utsman RA dimana manusia semakin banyak, maka ia menambahkan Adzan ketiga yang dikumandangkan di Zaura. (HR Al Bukhari dan Muslim).


Dan dari sini pula kemudian seolah menjadi tradisi apabila seorang Muslim hendak memasuki sebuah rumah baru yang lama tidak dihuni biasanya mengumandangkan kalimat adzan di setiap kamarnya. Untuk apa? Tidak lain untuk mengusir Syetan. Nah, apakah yang dilakukan kaum Muslimin di berbagai penjuru dunia dengan mengumandangkan kalimat Adzan ketika menguburkan Jenazah ada hubungannya dengan ini?. Wallahu A’lam. Tetapi yang jelas membatasi kalimat Adzan hanya untuk seruan Shalat dan menganggap haram bagi yang menggunakannya untuk selainnya, perlu dikaji lebih jauh kebenarannya. Marilah kita senantiasa memperbaiki sangka kita kepada sesama dengan tidak menceburkan diri kepada yang kita tidak memahaminya. Hasbunallah.


H. Syarif Rahmat RA


FATAL


Salah satu argumen kaum Wahhabi mewajibkan Wanita menutup muka adalah sebagaimana dikatakan Ulama mereka Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz:


قوله تعالى : وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ فَهُوَ صَرِيْحٌ فِيْ إِدْنَاءِ الْخِمَارِ مِنَ الرَأْسِ إِلَى الصَّدْرِ . لِأَنَّ الْوَجْهَ مِنَ الرَّأْسِ الَّذِيْ يَجِبُ تَخْمِيْرُهُ عَقْلًا وَشَرْعًا وَعُرْفًا وَلَا يُوْجَدُ أَيُّ َدَلِيْلٍ يَدُلُّ عَلَى إِخْرَاجِ الْوَجْهِ مِنْ مُسَمَّى الرَّأْسِ فِيْ لُغَةِ الْعَرَبِ ، كَمَا لَمْ يَأْتِ نَصٌّ عَلَى إِخْرَاجِهِ أَوْ اسْتِثْنَائِهِ بِمَنْطُوْقِ الْقُرْآَنِ وَالسُّنَّةِ وَلَا بِمَفْهُوْمِهِمَا.


Artinya: Firman Allah Ta’ala “Hendaknya kaum wanita itu menutupkan kain kerudungnya ke dada mereka”, jelas menunjukkan perintah menjulurkan kerudung dari kepala hingga dada karena wajah itu termasuk kepala yang wajib ditutupi baik dilihat dari kacamata akal, Syara’ maupun tradisi. Dan tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan wajah dari yang dinamakan kepala dalam bahasa Arab sebagaimana tidak ada pula nash yang mengeluarkannya atau mengecualikannya berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah baik secara tekstual ataupun kontekstualnya. (Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi’ah dan Mafhum Al Hijab karya Syekh Bin Baz).


Pernyataan ini fatal sebab Al Qur’an sendiri jelas memisahkan antara kepala dengan wajah. Perhatikan ayat berikut:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ(المائدة:6)


Artinya: “Hai orang-orang beriman, jika kamu hendak mendirikan Shalat, basuhlah muka kamu dan kedua tangan kamu sampai siku. Dan usaplah kelamu dan (basuhlah) kakimu hingga kedua mata kaki...” (Al Ma’idah:6).


Ayat ini dengan jelas menyebutkan perintah basuh untuk muka dan tangan. Sedangkan untuk kepala perintahnya dipisahkan yaitu dengan diusap. Sekiranya wajah merupakan bagian dari kepala, niscaya perintahnya akan disatukan.


Ketika masalah ini kami coba kemukakan kepada Mahasiswa kami di Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an (PTIQ) Jakarta, dengan cepat salah seorang dari mereka menyampaikan sanggahan sebagaimana di atas. Itu berarti masalah ini bukan masalah berat-berat amat sehingga anak-anak Mahasiswa pun mengetahui duduk perkaranya. Jadi, memang fatal jika orang yang disebut Ulama tidak mengetahuinya. Tetapi memang, tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah SAW. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar