NAMPAKNYA KURANG TEPAT
Seorang Ulama yang juga ketua Komisi fatwa dari Kerajaan Keluarga Sa’ud (Saudi Arabia), Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz pernah ditanya tentang Hadis:
وَرَدَ حَدِيْثٌ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَنْهَي فِيْهِ عَنْ تَقْبِيْحِ الْوَجْهِ ، وَأَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ . . فَمَا الْاِعْتِقَادُ السَّلِيْمُ نَحْوَ هَذَا الْحَدِيْثِ ؟ .
Artinya: Terdapat sebuah hadis dari Nabi Muhammad SAW yang melarang memburukkan wajah dan bahwasanya Allah itu menciptakan Adam dalam bentuk-Nya… Seperti apakah keyakinan yang benar menyangkut Hadis ini?.
Guru dari Syekh Utsaimin itu menjawab:
اَلْحَدِيْثُ ثَابِتٌ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُم فَلْيَتَّقِ الْوَجْهَ فَإِنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ وَفِيْ لَفْظٍ آخَرَ : عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ وَهَذَا لَا يَلْزَمُ مِنْهُ التَّشْبِيْهُ وَالتَّمْثِيْلُ . وَالْمَعْنَى عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ اللهَ خَلَقَ آدَمَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا، مُتَكَلِّمًا إِذَا شَاءَ ، وَهَذَا هُوَ وَصْفُ اللهِ فَإِنَّهُ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُتَكَلِّمٌ إِذَا شَاءَ ، وَلَهُ وَجْهٌ جَلَّ وَعَلَا .وَلَيْسَ الْمَعْنَى التَّشْبِيْهَ وَالتَّمْثِيْلَ ، بَلِ الصُّوْرَةُ الَّتِيْ لِلَّهِ غَيْرُ الصُّوْرَةِ الَّتِيْ لِلْمَخْلُوْقِ ، وَإِنَّمَا الْمَعْنَى أَنَّهُ سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُتَكَلِّمٌ إِذَا شَاءَ وَمَتَى شَاءَ ، وَهَكَذَا خَلَقَ َاللهُ آدَمَ ، سَمِيْعًا بَصِيْرًا ، ذَا وَجْهٍ وَذَا يَدٍ وَذَا قَدَمٍ ، وَلَكِنْ لَيْسَ السَّمْعُ كَالسَّمْعِ ، وَلَيْسَ الْبَصَرُ كَالْبَصَرِ ، وَلَيْسَ الْمُتَكَلِّمُ كَالْمُتَكَلِّمِ ، بَلِ للهُ صِفَاتُهُ جَلّ وَعَلَا الَّتِيْ تَلِيْقُ بِجَلَالِهِ وَعَظَمَتِهِ ، وَلِلْعَبْدِ صِفَاتُهُ الَّتِيْ تَلِيْقُ بِهِ ، صِفَاتٌ يَعْتَرِيْهَا الْفَنَاءُ وَالنَّقْصُ ، وَصِفَاتُ اللهِ سُبْحَانَهُ كَامِلَةٌ لَا يَعْتَرِيْهَا نَقْصٌ وَلَا زَوَالٌ وَلَا فَنَاءٌ ، وَلِهَذَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ : لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ فَلَا يَجُوْزُ ضَرْبُ الءوَجْهِ ، وَلَا تَقْبِيْحُ الْوَجْهِ .
Artinya: Hadis tersebut pasti datangnya dari Nabi Muhammad SAW bahwasanya beliau bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu memukul saudaranya hindarilah jangan sampai memukul wajahnya karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk-Nya”. Dalam Hadis yang lain dikatakan “dalam bentuk Yang Maha Pengasih”. Dan ini tidak menuntut adanya pengertian tasybih dan tamtsil (bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya, pen). Makna dari Hadis tersebut menurut ahli ilmu adalah bahwasanya Allah menciptakan Adam dapat mendengar, melihat dan berbicara apabila Dia kehendaki. Ini juga merupakan sifat Allah karena Dia itu Mendengar, Melihat dan Berbicara apabila Dia berkehendak. Dia Yang Maha Agung dan Maha Tinggi pun (sebagaimana Adam, pen) memiliki wajah. Tetapi maknanya bukanlah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, tetapi bentuk yang diperuntukkan bagi Allah itu bukanlah bentuk yang untuk makhluk-Nya. Makna yang terkandung dalam Hadis itu hanyalah untuk menyatakan bahwa Allah itu Mendengar, Melihat dan Berbicara apabila menghendaki dan kapan saja bila Dia menghendaki. Demikian juga Adam, Allah menciptakannya dapat mendengar, melihat dan berbicara, punya wajah, punya tangan dan punya telapak kaki akan tetapi pendengaran Adam tidak seperti pendengaran Allah, penglihatan Adam tidak seperti penglihatan Allah, cara berbicara Adam tidak seperti berbicaranya Allah, akan tetapi Allah itu memiliki sifat yang layak bagi keagungan dan kemuliaan-Nya, pun hamba memiiki sifat yang patut bagi dirinya yaitu sifat yang dikenai kefanaan dan kekurangan. Sedangkan sifat Allah itu sempurna, tidak terkena kekurangan, hilang atau kerusakan. Untuk itulah Allah berfirman: “Tidak ada yang semisal dengan Dia dan Dia itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. Dan Allah Yang Maha Suci berfirman: “Dan tidak ada seorang pun yang menyerupai Dia”. Oleh karena itu tidak boleh memukul muka dan tidak pula memburukkannya. (Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Ibn Baz Juz 25 halaman 127).
Dari uraian ini jelas, Syekh Bin Baz mengartikan Hadis di atas dengan “Allah menciptakan Adam seperti bentuk diri-Nya”, dalam arti bahwa bentuk Adam itu seperti bentuk Allah. Penafsiran seperti ini jelas kurang tepat dan berbahaya beberapa alasan:
Pertama, Syekh Bin Baz melalui ucapannya itu telah menetapkan fisik bagi Allah padahal keyakinan seperti itu merupakan akidah kaum Mujassimah, satu kaum yang disepakati kesesatannya oleh Ulama Salaf maupun Khalaf.
Kedua, Syekh Bin Baz telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya meskipun dalam volume yang berbeda. Betapa tidak?. Jika diterus-teruskan model pemikiran ini akan terbayanglah bahwa (maaf) sosok Allah itu “tidak kurang dan tidak lebih” seperti sosok manusia dengan embel-embel “tetapi beda ukuran”. Lebih jauh penafsiran ini telah membuka peluang bagi orang untuk berasumsi bahwa sebagaimana pada manusia ada pipi, dagu, gigi, rambut dan lainnya, demikian pula dalam diri Allah. Ini sangat berbahaya dan merupakan kekufuran.
Ketiga, bila dikatakan bahwa bentuk Adam seperti bentuk Allah, tidakkah cukup alasan bagi manusia untuk berkata bahwa “Wajah Allah menyerupai wajah manusia”. Selanjutnya bila dikatakan “tetapi wajah-Nya tidak seperti wajah manusia” jelas ini merupakan penyimpangan dan merusak kaidah bahasa. Bagaimana ia dapat mengatakan wajah Adam tidak seperti wajah Allah padahal kalimatnya sendiri menyebutkan, “karena Allah menciptakan Adam seperti bentuk diri-Nya”. Silahkan direnungkan baik-baik.
Keempat, nampaknya Syekh Bin Baz terpengaruh oleh akidahnya (Wahabiyah) yang meyakini bahwa Allah itu berfisik dan bertempat tinggal sehingga ketika menemukan sebuah Hadis, jalan pikirannya tertuju kepada ukurannya itu. Sekiranya beliau mau sedikit menganalisa – syukur-syukur membaca karya para Ulama yang ahli di bidang Hadis – niscaya akan selamat dari pemahaman seperti itu. Sesungguhnya awal kalimat dalam Hadis itu cukup menjadi bekal bagi pembacanya untuk memahami bahwa yang dituju dengan kata “bentuknya” itu bukan “bentuk Allah” tetapi “bentuk orang yang dipukul” sehingga arti Hadis itu adalah: “Apabila seseorang di antara kamu memukul saudaranya hindarilah jangan sampai memukul wajahnya karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam rupa orang yang dipukul itu”. Dikaitkannya seseorang dengan Adam, menunjukkan bahwa yang sedang diperbandingkan adalah antara Adam dengan “orang yang dipukul” itu bukan antara Adam dengan Allah.
Kelima, seandainya yang dituju dengan “bentuknya” pada Hadis itu adalah “bentuk Allah” niscaya akan hilanglah kaitan antara permulaan Hadis dengan akhirnya, sebab di permulaan Hadis yang disebutkan adalah “orang yang dipukul”, lalu bagaimana mungkin setelah itu tiba-tiba dibuat perbandingan antara Adam dengan Allah. Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqallani dalam Kitabnya Fathul Bari mengatakan:
وَاخْتُلِفَ فِي الضَّمِير عَلَى مَنْ يَعُود ؟ فَالْأَكْثَر عَلَى أَنَّهُ يَعُودُ عَلَى الْمَضْرُوبِ لِمَا تَقَدَّمَ مِنْ الْأَمْر بِإِكْرَامِ وَجْهه ، وَلَوْلَا أَنَّ الْمُرَاد التَّعْلِيل بِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِهَذِهِ الْجُمْلَة اِرْتِبَاط بِمَا قَبْلهَا .
Artinya: “Dan diperselisihkan mengenai kepada siapa ditujukan dhamir (kata “nya”) pada Hadis tersebut ditujukan. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa ia kembali kepada “orang yang dipukul” dalam kaitannya dengan perintah memuliakan wajahnya sebagaimana disampaikan pada permulaan. Sekiranya yang dituju bukan demikian maka akan hilanglah kaitan antara kalimat ini dengan kalimat sebelumnya”. (Lihat Fathul Bari Juz 5 halaman 492).
Berdasarkan uraian ini diketahui bahwa arti Hadis tersebut adalah: “Apabila seseorang di antara kamu memukul saudaranya hindarilah jangan sampai memukul wajahnya karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti bentuk orang tersebut”. Dan selanjutnya silahkan bandingkan dengan terjemahan Bin Baz: “Apabila seseorang di antara kamu memukul saudaranya hindarilah jangan sampai memukul wajahnya karena sesungguhnya Allah menciptakan Adam seperti bentuk Allah”.
Selanjutnya silahkan analisa manakah di antara kedua penafsiran itu yang lebih patut dipegangi?. Dan bila anda termasuk orang yang senang menggunakan kata “Bid’ah” atau “Sesat” dalam pembahasan Akidah, silahkan mencoba memasangnya kepada yang mana di antara keduanya kira-kira gelar tersebut lebih layak disematkan.
Sesungguhnya bila perbedaan pendapat disikapi dengan bijaksana, sebenarnya masalahnya bisa menjadi sederhana dan tidak akan ada yang merasa terhina. Tetapi ketika ada kelompok yang cenderung memaksakan kehendaknya, terkadang kita terpaksa harus membuka penutup wajahnya meski tidak terlalu manis buahnya. Kini semua sudah terjadi, setiap kelompok berhak untuk membela diri. Alangkah indahnya hidup ummat ini sekiranya saja sikap arogan tidak dimulai, meski demikian belum terlambat untuk mengakhiri. Hasbunallah.
H. Syarif Rahmat RA
Pertanyaan: Assalamu ‘alaikum. Pak Ustadz yang saya muliakan, saya mo Tanya: Bagaimana hukumnya memakan makanan/masakan dari non muslim. Tks. Wassalam (021974336xx tgl 7 April 2010 jam 11;24;56).
Jawaban: Wa’alaikumus Salam Wr.Wb. Pada dasarnya makanan itu dari siapa pun datangnya halal dimakan selama jenis makanan itu memang halal. Adapun makanan yang melalui penyembelihan maka para Ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang menganggap hewan yang disembelih oleh orang Kafir itu haram dimakan karena biasanya tidak membaca basmalah ketika menyembelihnya. Tetapi Ulama lain termasuk Al Imam Asy Syafi’i memperbolehkan makan binatang yang disembelih oleh non muslim karena menurutnya membaca basmalah itu sunnat saja. Ada pula makanan yang halal menjadi haram karena percampuran. Misalnya memasak daging kambing dengan minyak atau lemak babi atau goreng-gorengan dengan bumbu yang mengandung lemak babi, maka ia menjadi haram karena percampurannya dengan barang haram. Demikian semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar