Halaman

Minggu, 06 Juni 2010

Qum 486 Tgl 15 Jumadil Ula 1431 H/ 30 April 2010 M


MELURUSKAN JALAN PIKIRAN


Pada umumnya para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menetapkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW adalah adil, kredibel dan segala amal perbuatannya layak dijadikan tuntunan. (Dikecualikan dalam hal ini adalah ada persoalan-persoalan yang menyangkut perseteruan di antara mereka). Dari sini dapat dipetik beberapa konsekuensi antara lain:


1. Apabila terdapat sebuah Hadis berupa sabda Nabi SAW menyebutkan tentang disyari’atkannya suatu amaliah kemudian para sahabat mengerjakannya, maka amaliah tersebutt menjadi tuntunan bagi ummatnya dan yang menyalahinya dianggap sebagai sebuah kesesatan. Akan tetapi menjadi lain masalahnya manakala ada seorang “Mujtahid” yang memiliki pemahaman lain, meskipun pemahaman tersebut lebih baik dihindari karena menyalahi praktek para sahabat Rasulullah SAW yang tentu saja lebih mengerti daripada orang-orang sesudahnya.


Sebagai misal adalah Hadis:


لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ


Artinya: “Tidaklah satu kaum duduk di satu majelis untuk berdzikir kepada Allah kecuali Malaikat akan meliputi mereka, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, ketenangan akan turun kepada mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan Malaikat yang ada di sisi-Nya” (HR Muslim pada bab Al Ijtima’ Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Adz Dzikri, berkumpul untuk membaca Al Qur’an dan Dzikir).


Berpijak kepada pesan ini – dan pesan-pesan lain yang disampaikan Rasulullah SAW – maka para sahabat biasa berkumpul berdzikir bersama. Sebuah Hadis menyebutkan:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ.قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّى وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ « مَا أَجْلَسَكُمْ ». قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ « آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ ». قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ « أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ ». (رواه مسلم)


Artinya: Suatu hari Mu’awiyah menemui riungan orang-orang dalam Masjid. Ia bertanya: “Apakah yang mendorong kalian berkumpul seperti ini?”. Mereka berkata: “Kami berdzikir kepada Allah” Mu’awiyah bertanya lagi: “Demi Allah hanya untuk itu kalian duduk-duduk di sini?”. Mereka menjawab: “Demi Allah tidak ada yang mendorong kami duduk di sini kecuali itu”. Mu’awiyah berkata: “Sungguh, aku meminta kalian bersumpah itu bukan karena menuduh yang bukan-bukan. Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang lebih sedikit menceritakan tentang Rasulullah SAW dibandingkan aku. Pada suatu hari beliau keluar menemui para sahabatnya yang duduk membentuk lingkaran, lalu bertanya kepada mereka: “Apakah yang mendorong kalian berkumpul seperti ini?”. Mereka berkata: “Kami berdzikir kepada Allah serta memuji-Nya karena Dia telah memberi petunjuk dan memberi nikmat kami hingga kami memeluk agama Islam” Rasulullah SAW bertanya lagi: “Demi Allah hanya untuk itu kalian duduk-duduk di sini?”. Mereka menjawab: “Demi Allah tidak ada yang mendorong kami duduk di sini kecuali itu”. Rasulullah SAW kemudian bersabda berkata: “Sungguh, aku meminta kalian bersumpah itu bukan karena menuduh yang bukan-bukan. Akan tetapi baru saja Jibril datang kepadaku mengabarkan bahwa Allah membanggakan kalian di hadapan para Malaikat-Nya” (HR Muslim).


Atas dasar ini maka para Ulama sepakat bahwa berdzikir berjama’ah itu Sunnat hukumnya, sebagaimana dikatakan Al Imam Abdul Wahhab Asy Sya’rani (W 972 H) dalam kitabnya Al Anwar Al Qudsiyah:


وَاَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ سَلَفًا وَخَلَفًا عَلَى اسْتِحْبَابِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى جَمَاعَةً فِي الْمَسَاجِدِ وَغَيْرِهَا مِنْ غَيِِْرِ نَكِيْرٍ اِلَّا اِنْ شَوَّشَ ذِكْرُهُمْ عَلَى ناَئمِ ٍاَوْ مُصَلٍّ اَوْ قَارِئٍ اَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مُقَرَّرٌ فِيْ كُتُبِ الْفِقْهِ.


Artinya: Para Ulama baik Salaf maupun Khalaf telah sepakat (Ijma’) atas sunnahnya dzikir berjama’ah baik di Masjid-Masjid ataupun di tempat lainnya tanpa ada seorang Ulama pun yang mengingkarinya kecuali jika dzikir mereka itu mengganggu orang yang tidur, orang yang shalat atau orang yang sedang membaca Al Qur’an sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab Fiqh (Lihat Kitab Al Anwar Al Qudsiyyah halaman 31)


2. Bila terdapat sebuah Hadis Qauli (Sabda Nabi SAW) yang menyebutkan tentang disyari’atkannya suatu amaliah, namun tidak diketemukan Hadis Fi’li (perbuatan) yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW melakukannya, maka orang yang berpikiran sehat akan melakukannya karena yakin bahwa Rasulullah SAW pun melakukannya sebab tidak mungkin beliau melanggar kata-katanya. Atau kalaupun beliau tidak melakukannya itu semata disebabkan ada yang menyebabkannya. Barang siapa menganggap bahwa amal perbuatan tersebut tidak disyari’atkan dengan dalih Rasul tidak melakukannya, maka ia telah melakukan tuduhan keji kepada Rasulullah SAW. (Justru dalam pikiranku, periwayatan sabda Nabi tersebut bisa jadi dikemukakan oleh sahabat pada saat ada di antara mereka yang yang melakukannya). Sebagai misal dapat dikemukakan sebuah Hadis tentang berdo’a berjama’ah:


لا يَجْتَمِعُ مَلأٌ فَيَدْعُو بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ سَائِرُهُمْ إِلا أَجَابَهُمُ اللَّهُ "


Artinya: “Tidaklah satu kelompok manusia berkumpul lalu salah seorang di antara mereka memanjatkan do’a dan yang lain mengaminkannya, kecuali Allah memperkenankan do’a mereka itu” (HR Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir. Dalam Majma’ Az Zawa’id dikatakan bahwa Rijal Hadis ini adalah Rijal Shahih kecuali Ibnu Lahi’ah dan orang ini Hasan Hadisnya).


Bila kita mencari dalam kitab-kitab Hadis sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sengaja mengumpulkan orang lalu melakukan hal tersebut, niscaya kita tidak akan menemukannya. Tetapi apakah patut kita mengatakan Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah melakukannya dan oleh sebab itu kita menetapkan bahwa perbuatan tersebut bid’ah?. Adalah menarik bahwa Hadis tersebut dikemukakan oleh Habib bin Maslamah Al Fihri – seorang yang mustajab do’anya – ketika bersama-sama dengan pasukan kaum Muslimin. Ini berarti ketika itu do’a bersama sedang dikerjakan oleh kaum Muslimin kalangan sahabat Rasulullah SAW.


Sejumlah Hadis bahkan mengisyaratkan beliau SAW pernah dan biasa berdo’a berjama’ah meskipun oleh penyusun kitab Hadis tidak dijuduli dengan “Do’a berjama’ah” (Dan ini yang dijadikan alasan kelompok anti do’a berjama’ah). Sebagai misal Hadis bersumber dari Anas bin Malik yang melaporkan:


أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ . فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ ، قَالَ فَمَا خَرَجْنَا مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى مُطِرْنَا ، فَمَا زِلْنَا نُمْطَرُ حَتَّى كَانَتِ الْجُمُعَةُ الأُخْرَى ، فَأَتَى الرَّجُلُ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، بَشِقَ الْمُسَافِرُ ، وَمُنِعَ الطَّرِيقُ . (رواه البخاري ومسلم(


Artinya: Seorang laki-laki perkampungan datang menghadap Rasulullah SAW pada hari Jum’at lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa keluarga dan masyarakat”. Maka Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dan orang-orang pun mengangkat kedua tangan mereka berdo’a bersama Rasulullah SAW. (Kata sahabat selanjutnya) “Belum lagi kami keluar dari Masjid hujan telah turun dan hujan terus turun kepada kami sampai Jum’at berikutnya. Laki-laki itu pun datang lagi menghadap Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami kesulitan untuk berpergian dan jalan kami terhambat karena hujan....” (HR Al Bukhari dan Muslim)


Oleh karena itu di seluruh dunia kaum Muslimin senantiasa berdo’a berjama’ah baik dalam Shalat ketika membaca Al Fatihah, ketika Qunut atau kesempatan lainnya termasuk di kuburan sebagaimana dikatakan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, ketua komisi Fatwa Kerajaan Keluarga Sa’ud (Saudi Arabia):


قَدْ دَلَّتِ السُّنَّةُ الثَّابِتَةُ عَنِ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم عَلَى شَرْعِيَةِ الدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ, فَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ وَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوْا لِأًَخِيْكُمْ وَاسْاَلُوْالَهُ التَّثْبِيْتَ فَاِنَّهُ الْاَنَ يُسْئَلُ.لَاحَرَجَ فِيْ اَنْ يَدْعُوَ وَاحِدٌ وَيُؤَمِّنُ السَّامِعُوْنَ اَوْ يَدْعُوَ كُلُّ وَاحِدٍ بِنَفْسِهِ لِلْمَيِّتِ..وَاللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ


Artinya: Sunnah Rasul SAW yang kuat menunjukkan disyari'atkannya berdo'a untuk mayit setelah penguburannya. Nabi SAW biasanya apabila selesai menguburkan mayit berdiri dekat kuburan dan bersabda: "Mohonkanlah ampun bagi saudaramu ini dan mintakanlah ketetapan hati karena sekarang ia akan ditanya". Dan tidak mengapa jika salah seorang memanjatkan do'a lalu para pendengarnya mengaminkannya atau masing-masing orang berdo'a untuk si Mayit. Wallahu Waliyyut taufiq" (Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syekh Bin Baz pada Juz 13 halaman 205).


Dan manakala ada orang yang mengharuskan adanya dalil lain sebagai penopang kesunnahanya berdo’a berjama’ah – selain Hadis di atas –, sesungguhnya hal tersebut terlalu mengada-ada.


H. Syarif Rahmat RA


Bersambung………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar